Ahli Kritik Pasal Mucikari dalam KUHP
Berita

Ahli Kritik Pasal Mucikari dalam KUHP

“Apakah hukum ini sejalan dengan keinginan kita sebagai bangsa yang beradab dan mandiri?”

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Islam Ahmad Zainal Abidin selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang perkara uji materi KUHP, Rabu (30/3) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Islam Ahmad Zainal Abidin selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang perkara uji materi KUHP, Rabu (30/3) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Terpidana kasus mucikari artis, Robby Abbas, terus berupaya memperkuat argumentasinya mempersoalkan Pasal 296 dan 506 KUHP. Salah satunya dengan menghadirkan ahli ke sidang pengujian pasal itu di Mahkamah Konstitusi.

Rabu (30/3) kemarin, Robby menghadirkan pakar hukum kekeluargaan Islam, Zainal Abidin bin Syamsuddin. Saat memberikan keterangan sebagai ahli, Zainal menilai ada yang tidak adil dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia. Bagaimana mungkin seorang yang melakukan hubungan seksual di luar nikah, termasuk zina, tak dihukum, sedangkan orang yang memfasilitasi perbuatan itu dihukum.

Zainal percaya semua agama Samawi, terutama Islam, mengharamkan perbuatan zina dan menghukum berat pelakunya. Karena itu, kata dia sungguh tidak adil jika hukum nasional hanya menjerat orang memfasilitasi, sedangkan pelaku seksnya bebas. “Jadi, tidak menghukum penikmat seks sesuatu yang tidak logis,” katanya di depan majelis.

Dalam keterangannya, Zainal memang banyak merujuk pada landasan hukum Islam.  Islam memberi hukuman berat (had) bagi pelaku zina berupa cambuk dan rajam. Fokus utama penghukuman adalah kepada pelaku hubungan seksual di luar nikah itu. Karena itu, ia menganggap tidak adil aturan KUHP yang tidak memberi sanksi kepada penikmat hubungan seks, sedangkan perantaranya (germo atau mucikari) dikenakan sanksi.

“Sungguh sangat aneh dalam pandangan Islam, jika perantara dihukum, tetapi penikmat/penjajah seks (pezina) tidak dihukum. Seharusnya pezina dihukum lebih berat daripada perantara perzinaan terutama bagi orang sudah atau pernah menikah,” ujar Zainal Abidin bin Syamsuddin saat memberi pandangan sebagai ahli di sidang lanjutan pengujian Pasal 296 dan Pasal 506 KUHPdi ruang sidang MK, Rabu (30/3).

Alumnus Lembaga Islam Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) itu mengakui syariat Islam tidak mengatur spesifik sanksi bagi perantara zina karena di zaman Rasullullah belum dikenal istilah perantara zina (prostitusi). “Jarang kita temukan ajaran agama manapun perantara perzinaan diberi sanksi lebih berat daripada pezina. Bahkan, perantara perzinaan tidak termasuk kejahatan kategori had, tetapi minimal ta’jir (hanya berdosa, red),” kata dia.

Karena itu, tidak memberi sanksi hukuman pelaku zina dinilai menodai syariat Islam, menciderai keadilan hukum, menistakan ajaran semua agama, dan kearifan lokal yang mengancam kelanggengan/keutuhan kehidupan rumah tangga yang dijamin Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Dia mengingatkan KUHP merupakan produk hukum warisan kolonial Belanda yang berpedoman pada paham sekulerisme, bukan agama.

“Jadi, sangat tidak adil kalau penikmat zina tidak dikenakan sanksi. Kita bisa berpikir, apakah hukum ini sejalan dengan keinginan kita sebagai bangsa yang beradab dan mandiri?”

Dia mengungkapkan saat ini ada sejumlah daerah yang sudah menerapkan hukuman bagi penikmat zina melalui peraturan daerahnya. “Supaya memiliki payung hukum lebih tinggi, sanksi penikmat zina harus segera dipikirkan aturannya,” lanjut Pendiri Lembaga Dar el-Dzikir Solo ini. “Prostitusi ini adalah gangguan sosial yang paling berat. Bahkan Swedia sudah memberlakukan hukuman berat bagi para pelacur, penikmat atau penjaja seks,” ujarnya.

Dalam sidang pekan lalu, Pemerintah berlindung di balik asas legalitas untuk menjawab tuntutan Robby Abbas. Lantaran pembentuk undang-undang (KUHP) sudah menghukum mucikari, maka aturan ini harus diikuti sesuai asas legalitas. Kalaupun penikmat seksnya tidak dihukum, di mata pemerintah, itu karena sesuai asas legalitas. Pandangan Pemerintah ini sempat dikritik hakim MK yang menangani perkara ini. Hakim menyebut jawaban Pemerintah normatif dan tidak responsif.

Lewat kuasa hukumnya, Robby Abbas mempersoalkankonstitusionalitas Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Alasannya, kedua pasal itu dinilai tidak adil karena hanya mempidanakan orang yang mencarikan jasa prostitusi (mucikari), tetapi tidak bisa memidanakan pekerja seks komersil dan pengguna jasa prostitusi atau pihak yang memperoleh kenikmatan seksual itu.

Pasal 296 KUHP menyebutkan “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Sedangkan Pasal 506 KUHP menyebutkan “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Menurut pemohon, selama ini sanksi bagi pengguna jasa prostitusi hanya diatur melalui Peraturan Daerah di sejumlah daerah. Seperti, Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 dan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005. Perda tersebut menyebutkan perbuatan hubungan seksual di luar pernikahan untuk mendapatkan imbalan jasa adalah perbuatan melanggar hukum.

Karena itu, pemohon meminta Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP dimaknai agar setiap tindakan pencabulan dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa atau menarik keuntungan, atau  memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara.
Tags:

Berita Terkait