Tilang: Peluang Optimalisasi Reformasi Pelayanan Publik Pengadilan
Kolom

Tilang: Peluang Optimalisasi Reformasi Pelayanan Publik Pengadilan

Hingga saat ini, perkara tilang menjadi beban dan disinsentif bagi pengadilan.

Bacaan 2 Menit
Miko Susanto Ginting. Foto: PSHK
Miko Susanto Ginting. Foto: PSHK
Perkara pelanggaran lalu lintas tertentu (selanjutnya disebut perkara tilang) merupakan perkara sumir, sederhana, dan diproses menurut acara pidana cepat. Namun, menjadi tantangan yang kompleks bagi pengadilan karena belum diikuti dengan pengelolaan yang optimal. Padahal secara kuantitas tilang adalah perkara yang paling banyak ditangani oleh pengadilan setiap tahunnya.

Misalnya, pada 2014, jumlah perkara pidana acara cepat (tindak pidana ringan dan tilang) yang ditangani pengadilan sebanyak 3.226.104 perkara. Hal itu berarti 95,42% dari keseluruhan perkara pidana yang ditangani oleh Pengadilan Negeri (PN) di seluruh Indonesia adalah perkara pidana cepat dan lebih spesifik lagi didominasi oleh perkara tilang.

Pada tahun sebelumnya kondisinya tidak jauh berbeda. Perkara pidana yang ditangani oleh seluruh PN di Indonesia berjumlah 3.386.149 perkara. Sebanyak 3.214.119 atau 96,40% dari keseluruhan jumlah perkara itu merupakan tindak pidana ringan dan tilang. Perkara pidana biasa "hanya" mencapai angka 119.876 atau 3,60% dan perkara pidana singkat hanya mencapai 231 perkara atau 0,01%.

Jumlah yang begitu besar secara makro itu merupakan gambaran dari perkara tilang yang ditangani oleh masing-masing PN di Indonesia. Misalnya, pada 2013, PN Surabaya menangani hingga 141.196 perkara tilang. PN Medan menangani 87.808 perkara tilang berbanding 650 perkara pidana biasa. Perkara tilang yang ditangani PN Jakarta Timur bahkan mencapai angka 170.643 perkara.

Tidak hanya pada pengadilan di kota-kota besar, besarnya perkara tilang itu juga ditemukan pada PN lainnya. Misalnya, pada 2013, PN Ternate menangani 3.963 perkara tilang berbanding 219 perkara pidana biasa. PN Palu menangani 6.437 perkara tilang berbanding 650 perkara pidana biasa. PN Binjai menangani 5.300 perkara tilang berbanding 405 perkara pidana biasa.

Tidak Sekadar Kuantitas
Besarnya jumlah perkara itu cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun dan bukan tidak mungkin semakin bertambah. Jumlah perkara yang begitu besar tersebut pun tidak sekadar bermakna kuantitas. Pada perkara tilanglah interaksi antara pengadilan dan masyarakat paling banyak terjadi. Apabila tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik, dampak yang muncul adalah perkara tilang menjadi tantangan sekaligus beban bagi pengadilan.

Temuan penelitian Standardisasi Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan Negeri oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (2013-2016) memotret kondisi tersebut. Hingga saat ini, perkara tilang menjadi beban dan disinsentif bagi pengadilan.

Pertama, beban persepsi. Citra dan kepercayaan publik terhadap pengadilan sangat ditentukan oleh baik-buruknya pengelolaan perkara tilang. Bisa dibayangkan jika setiap tahun lebih dari tiga juta orang berurusan dengan pengadilan terkait tilang, maka terdapat potensi lebih dari tiga juta persepsi negatif terhadap pengadilan. Belum lagi jika persepsi negatif itu dapat dengan mudah berkembang di masyarakat.

Penelitian Baseline Survey: Survei Kepuasan Publik Terhadap Layanan Pengadilan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia bekerjasama dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (2013) memotret hanya 23% dari keseluruhan responden yang menyatakan puas terhadap persidangan tilang. Belum lagi fenomena "calo" yang jamak diketahui oleh masyarakat luas dan berdampak erat pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Kedua, beban administrasi. Perkara tilang menjadi beban administrasi bagi pengadilan dan berpengaruh pada kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu contoh, sistem pencatatan (registrasi) tilang masih menggunakan metode manual (tulis tangan). Pada salah satu PN ditemukan proses pencatatan ini bahkan memakan waktu hingga dua minggu. Hal ini berarti selama itu pula berkas dan denda tilang mengendap dan belum diserahkan kepada Kejaksaan selaku eksekutor.

Ketiga, beban kelembagaan. Beban kelembagaan ini meliputi beban kerja hakim, panitera, dan staf hingga sarana dan prasarana pengadilan. Pada pengadilan di kota besar bahkan ditemukan perkara tilang yang harus ditangani sampai mencapai angka sepuluh ribu perkara dalam satu minggu. Hampir seluruh sumberdaya pengadilan akhirnya tersedot pada pengelolaan perkara tilang.

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
Pada akhirnya, penanganan perkara tilang berubah menjadi disinsentif bagi pengadilan. Meski demikian, apabila pembenahan dapat dirumuskan dengan tepat dan segera, maka pada perkara tilanglah titik intervensi paling strategis guna mendongkrak reformasi pelayanan publik di pengadilan. Secara signifikan reformasi pelayanan publik oleh pengadilan dapat tercapai dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas.

Benar perkara tilang bukan hanya tanggung jawab pengadilan. Peran kepolisian, kejaksaan, dan bank juga sama besarnya. Namun, muara perkara tilang menurut undang-undang ada di area pengadilan. Tanpa pengadilan melakukan gebrakan, maka selama itu pula perkara tilang tetap dikelola secara konvensional dan menjadi beban.

Temuan penelitian di atas merumuskan solusi ideal, yaitu mengeluarkan perkara tilang dari domain pengadilan, terutama untuk perkara dimana pelanggar mengakui kesalahannya (uncontested cases). Namun, solusi ini terbentur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karenanya, solusi ini dapat ditempuh tetapi bersifat jangka panjang.

Solusi jangka menengah adalah perubahan terhadap Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu tanggal 19 Juni 1993. Termasuk perubahan terhadap peraturan turunan di masing-masing institusi.

Solusi jangka panjang dan menengah berupa perubahan pada tataran regulasi itu memerlukan waktu serta proses yang panjang. Di sisi lain, perkara tilang tetap berlangsung dengan kondisi yang sama dari waktu ke waktu. Diperlukan instrumen kebijakan, terutama di lingkup Mahkamah Agung, yang bersifat segera agar pelayanan publik yang prima dapat diberikan kepada masyarakat.

Modal awal yang dimiliki pengadilan untuk mendorong pembenahan internal terlebih dahulu sebenarnya sudah cukup. Beberapa PN telah menerapkan praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan perkara tilang. Namun, praktik terbaik itu belum terlembaga, seragam, dan bergantung pada personil tertentu.

Misal, di pengadilan X sudah memanfaatkan laman resmi pengadilan untuk memberikan informasi kepada pelanggar sedangkan di pengadilan Y belum. Di pengadilan A sudah menggunakan fasilitas SMS gateway agar pelanggar tidak membludak pada hari sidang sedangkan di Pengadilan B belum.

Contoh di atas hanya secuplik dari banyaknya praktik terbaik yang sudah dijalankan tetapi diterapkan secara terpisah, tidak seragam, dan tidak terlembaga. Oleh karena itu, dibutuhkan segera standar nasional pengelolaan tilang di lingkup pengadilan guna melembagakan dan menerapkan praktik terbaik itu secara seragam.

Perkara tilang hingga saat ini menjadi beban dan disinsentif bagi pengadilan. Namun, di sisi lain, area ini sangat strategis jika dapat dibenahi dan modal berupa praktik terbaik juga sudah tersedia. Apabila langkah pembenahan dapat dirumuskan dengan tepat, maka beban tersebut dapat berubah menjadi peluang.

Pilihan bagi pengambil kebijakan: tetap dengan pengelolaan seperti saat ini dimana perkara tilang menjadi beban atau mengambil langkah maju dengan mengubahnya menjadi prestasi?

*Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) serta pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Tags:

Berita Terkait