Eddy Sindoro Dicegah ke Luar Negeri, KPK Sebut Keterkaitan Lippo
Berita

Eddy Sindoro Dicegah ke Luar Negeri, KPK Sebut Keterkaitan Lippo

Sejumlah saksi dari anak usaha Lippo dijadwalkan dalam pemeriksaan, tetapi tidak hadir tanpa keterangan.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yuyuk Andriati Iskak mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat permintaan cegah berpergian ke luar negeri terhadap Eddy Sindoro. "Surat per tanggal 28 April 2016. Yang bersangkutan dicegah untuk enam bulan ke depan," katanya di KPK, Senin (2/5).

Pencegahan Edy ini dilakukan berdasarkan penyidikan kasus dugaan suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan seorang swasta, Doddy Aryanto Supeno. Sebagaimana diketahui, Eddy merupakan Chairperson PT Paramount Enterprise International dan pernah menjadi Komisaris PT Lippo Karawaci Tbk.

Selain itu, Eddy juga pernah menduduki jabatan penting di sejumlah anak usaha Lippo, seperti Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk, PT Pacific Utama Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, Chairman dan Presiden Direktur PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, serta Komisaris PT Multipolar Tbk dan PT Matahari Putra Prima Tbk.

Yuyuk menjelaskan, alasan pencegahan adalah agar Eddy tidak sedang berada di luar negeri apabila sewaktu-waktu penyidik membutuhkan keterangannya. Tentunya, pencegahan tersebut juga dilakukan karena Eddy diduga memiliki keterkaitan dengan kasus dugaan suap yang menjerat Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno.

Ketika ditanyakan, apakah sumber uang suap yang diterima Edy Nasution berasal dari Eddy, Yuyuk mengaku belum mendapatkan informasi. "Makanya kita cegah untuk dimintai keterangan. Nanti diminta keterangan dulu, bagaimana keterlibatan dia. Sampai sekarang kan belum diperiksa. Jadi, nanti saja. Ikuti dulu prosesnya," ujarnya.

Walau begitu, Yuyuk membenarkan kaitan Lippo dengan kasus Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno yang sedang disidik KPK. Menurutnya, ada salah satu perkara yang berhubungan dengan Lippo. KPK pun mulai menjadwalkan pemeriksaan sejumlah saksi dari anak usaha Lippo, antara lain Suhendra Atmadja.

Suhendra diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Doddy Aryanto Supeno. Begitu juga dengan Recky, office boy Menara Matahari Lantai 3 dan Lantai 23, Boulevard Palem, Tangerang yang diketahui sebagai kantor PT Lippo Karawaci Tbk, Harlijanto Halim, serta Wresti Kristian Hesti, pegawai legal PT Artha Pratama Anugrah.

Ada pula seorang pegawai Mahkamah Agung (MA) bernama Royani dan swasta, Wawan Sulistiawan. Akan tetapi, Yuyuk menegaskan, kelima saksi itu tidak hadir tanpa keterangan. Bahkan, Royani, pegawai MA tersebut tidak hadir untuk kedua kalinya. Dengan demikian, penyidik akan kembali melayangkan surat panggilan.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno sebagai tersangka. Keduanya ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/4) sekitar pukul 10.45 WIB. Edy dan Doddy ditangkap di basement sebuah hotel di bilangan Kramat Raya, Jakarta Pusat sesaat setelah serah terima uang.

Dari hasil OTT, KPK menyita uang sejumlah Rp50 juta. Pemberian uang tersebut diduga bukan yang pertama kali. Pemberian pertama, yaitu sebesar Rp100 juta diduga dilakukan pada Desember 2015. Sementara, pemberian yang dijanjikan kepada Edy adalah sebanyak Rp500 juta, tetapi belum terpenuhi semuanya.

Pemberian uang diduga berkaitan dengan permohonan peninjauan kembali (PK) suatu perkara perdata yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat. Namun, KPK belum mau mengungkapkan perkara perdata apa yang dimaksud karena penyidik masih melakukan pendalaman. Yang pasti, perkara perdata itu menyangkut dua perusahaan.

Atas perbuatannya, Edy dikenakan Pasal 12 huruf a, b, atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan, Doddy dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Doddy ini diduga sebagai perantara pemberi suap. Ada pelaku lain yang masih didalami.

KPK menganggap kasus Edy merupakan pembuka untuk kasus yang lebih besar. KPK telah melakukan penggeledahan di empat tempat, yaitu kantor PT Paramount Enterprise International, kantor di PN Jakarta Pusat, rumah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi di Hang Lekir, dan ruang kerja Nurhadi di MA. KPK juga telah mencegah Nurhadi berpergian ke luar negeri.

Ketika menggeledah rumah Nurhadi, KPK menemukan uang sekitar Rp1,7 miliar yang terdiri dari pecahan rupiah dan mata uang asing, yakni AS$37.603, Sing$85.800, ¥170.00, Saudi Arabia Riyal (SAR)7.501, Euro 1.335, dan Rp354,3 juta. Meski uang-uang itu sudah disita KPK, penyidik masih mendalami sumber uang tersebut.
Tags:

Berita Terkait