M. Ravi, Mengenal Advokat Pejuang Keadilan dari Singapura
Resensi

M. Ravi, Mengenal Advokat Pejuang Keadilan dari Singapura

Pernah melaporkan perbuatan jahat ayahnya sendiri ke polisi saat masih duduk di bangku SD.

RIA
Bacaan 2 Menit
Buku Kampong Boy. Foto: NNP
Buku Kampong Boy. Foto: NNP
Berani menyuarakan kebenaran dan kerap muncul sebagai advokat dalam kasus-kasus kontroversial di Singapura, begitulah Masadamy Ravi dikenal. Lahir sebagai keturunan Tamil Nadu, India, di kampung termiskin Singapura, Ravi hidup dengan berbagai permasalahan yang muncul.

Kisah demi kisah dalam hidupnya disampaikan Ravi melalui sebuah buku berjudul M. Ravi: Kampong Boy. Dimulai dengan kata pengantar yang disampaikan oleh almarhum Adnan Buyung Nasution (untuk edisi Bahasa Indonesia), selanjutnya kita bisa melihat bahwa perjuangan Ravi menegakkan kebenaran bukannya baru dimulai sejak ia mengenyam profesi sebagai advokat. Tapi jauh sebelum itu. Dengan gagah berani, sejak kecil Ravi pernah melaporkan kejahatan yang diperbuat oleh ayahnya sendiri.

Pelaporan ini dituturkan dalam buku Kampong Boy. Dikisahkan, bahwa Ravi memang bukan berasal dari keluarga yang harmonis. Saat menikahi ibunya, ayah Ravi merupakan orang yang berada, tetapi hobi ayahnya berjudi dan mabuk-mabukan membuat semua kekayaan itu lenyap. Ayah Ravi pun menjadi orang yang temperamental.

Sejak Ravi kecil hingga duduk di bangku sekolah, tak jarang Ravi melihat ibunya dipukuli ketika sang ayah pulang dalam keadaan mabuk dan meminta uang untuk membeli minuman kesukaannya. Hal yang sama pun terjadi pada dirinya. Saat Ravi hendak membayar iuran sekolah ketika ia duduk di bangku SD, ayahnya merampas uang iurannya dari kantung baju Ravi hingga seragamnya pun compang-camping.

Marah bercampur malu karena ia sudah telat menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang siswa, ditambah mereka menjadi tontonan penghuni sekolah dan harus tampil dengan penampilan yang berantakan. Ravi pun melaporkan perbuatan ayahnya tersebut ke kepolisian setempat.

Lalu, apa yang didapatkan Ravi? Sebuah penolakan. Polisi yang bertugas mengatakan bahwa tindakannya melaporkan ayah sendiri itu tidak dapat dibenarkan, tetapi ia bersikukuh dan mulai berargumen bahwa kebenaran dan keadilan harus dijunjung sekalipun penjahat itu adalah ayahnya. Itulah titik di mana ia belajar menjadi seorang advokat. Dengan membela hak hukumnya sendiri.

“Kemarahan saya sudah memuncak sehingga tidak bisa dikalahkan dengan sebotol Coca-Cola yang diberikan oleh polisi itu. Saya ingin keadilan dan saya mulai berdebat kenapa keadilan harus ditegakkan dalam kasus saya ini,” tulis Ravi dalam bukunya.

Tak berhenti di situ, pengalaman demi pengalaman membantu Ravi mengasah kemampuannya yang berguna menjadi bekal di masa yang akan datang. Contohnya ketika Ravi duduk di bangku SMA. Ravi merupakan salah seorang siswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Bersama dengan teman-teman, Ravi menggagas pemasangan kain putih di dinding pojok sekolah yang dapat digunakan siswa untuk menyuarakan pendapat siswa.

Banyak siswa yang datang untuk menulis di sana, salah satunya menuliskan tentang seorang politikus oposisi yang tidak disukai pemerintah, JB Jayaretnam. Heboh, kepala sekolah pun meminta tulisan itu dihapus dan kain putih yang menghiasi tembok sekolah diturunkan. Kali ini, Ravi merasa kebebasan untuk berekspresi siswa telah dibunuh.

Pasca kejadian itu, Ravi gencar mengampanyekan hak-hak siswa dengan bergabung ke dalam organisasi siswa di sekolah. Keberaniannya ini tak lepas dari pertemuan Ravi dengan JB Jayaretnam yang memberikan kekaguman pada Ravi tentang sosok JB Jayaretnam sebagai ikon kebebasan bagi banyak orang Singapura.

Pertemuannya dengan JB Jayaretnam ini pula yang akhirnya mengantarkan Ravi pada kasus hukuman mati pertamanya, terpidana Vignes Mourti. Keluarga Vignes – yang saat itu akan segera dieksekusi – meminta JB Jayaretnam untuk mendampingi upaya hukum terakhir yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan anaknya. Namun, kebangkrutan dan kasus hukum yang melilitnya membuat JB Jayaretnam tidak bisa mendampingi klien di pengadilan. Ia pun menyarankan keluarga terpidana untuk meminta bantuan Ravi.

Sayang, buku Kampong Boy tidak cukup lengkap mengisahkan perjalanannya dalam memperjuangkan Vignes yang tetap berakhir di ruang eksekusi itu. Untuk diketahui, Ravi memang telah menuliskan sendiri perjalanannya membela Vignes dalam buku berjudul Hung at Dawn.

Hal yang paling menonjol dari buku Kampong Boy adalah potongan demi potongan jalan hidup peraih gelar sarjana hukum dari Universitas Cardiff, Wales, Inggris, ini. Sementara kisah-kisah kasus besar yang pernah ditanganinya pun tidak mencapai setengah dari bab yang ada dalam buku ini.

Dalam buku ini terdapat cerita tentang Ravi yang selalu menjadi juara dalam lomba pidato bahasa Tamil saat SD, Ravi yang harus meminjam uang ke kenalannya untuk menempuh pendidikan hukum di Inggris, dan kisah tentang kedekatan Ravi dengan ibunya yang memiliki gangguan kesehatan jiwa.

Kisah mengenai kedekatan Ravi dengan Ibunya ini bisa dibilang paling banyak mendapat banyak sorotan dalam buku. Dimulai dari pengorbanan Ravi yang harus bolak-balik Inggris-Singapura saat kuliah untuk merawat ibunya. Kemudian bagaimana ia menyisihkan sebagian penghasilan untuk menyewa kondominium saat ia sudah mulai hidup serba cukup agar sang ibu mendapat tempat istirahat yang lebih baik, hingga ibunya berakhir bunuh diri dari atap kondominium itu. Terakhir, tentang titik balik Ravi setelah ibunya pergi.

Dalam buku ini juga terungkap sebuah fakta bahwa Ravi ternyata pernah hampir meninggalkan impiannya menjadi advokat untuk menjadi penyiar berita di sebuah stasiun televisi berbahasa Tamil, kalau saja ia tidak mengubah penampilannya. Tampilan baru Ravi yang membuatnya terlihat lebih muda mendapat protes dari penonton yang sebelumnya sangat menyukai gaya bicara Ravi.

Layaknya buku harian, gaya bahasa yang digunakan dalam buku Kampong Boy ini dapat dengan mudah dicerna dan membuat kita larut dalam ceritanya, khususnya di beberapa bab awal. Setiap sudut jalan dan suasana pun digambarkan dengan jelas dalam tulisan sehingga bisa dibayangkan seperti apa lokasi dan kondisi dalam suatu peristiwa yang diceritakan.

Namun, ada satu hal yang cukup disayangkan, yaitu cara berkisah yang tidak memerhatikan runtutan waktu dengan baik. Pembaca dibuat pusing sebab dalam satu bab, urutan ceritanya lompat-lompat. Dalam www.goodreads.com, situs yang digunakan untuk memberikan penilaian dan rekomendasi terhadap suatu buku, buku Kampong Boy ini mendapat nilai sebesar 3.36.
Tags: