Ini Problem Serius Mengapa Mediasi Sering Berakhir ‘Buntu’
Berita

Ini Problem Serius Mengapa Mediasi Sering Berakhir ‘Buntu’

Kebanyakan membawa masalah ke jalur mediasi ketika umur sengketa sudah tua. Akibatnya, perkara semakin berkarat dan sulit diselesaikan.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Fahmi Shahab. Foto: SGP
Fahmi Shahab. Foto: SGP
Ada sejumlah pilihan yang bisa ditempuh seseorang ketika menghadapi sengketa, salah satunya mediasi. Alasan memilih mediasi biasanya karena ingin menjaga hubungan baik dengan pihak bersengketa pasca berselisih paham. Namun, tak semua proses mediasi berjalan mulus. Ada kalanya kedua belah pihak kesulitan menemukan titik terang dan kebanyakan berakhir ‘deadlock’. Lantas, apa hal yang sebenarnya menghambat proses negosiasi bagi para pihak?
Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional (PMN), A. Fahmi Shahab mengatakan bahwa kesalahan yang seringkali dilakukan pihak bersengketa saat menyelesaikan masalah lewat jalur mediasi adalah menunda-nunda upaya perdamaian tersebut. Akibatnya, sengketa yang dialami keduanya semakin pelik lantaran terlalu keduanya larut dalam perselisihan tanpa adanya itikad untuk meluruskan ke keadaan semula.
“Kalau proses ini ditempuh lebih awal sebelum keadaan menjadi seperti itu, kemungkinan mereka berharap kasus itu selesai. Jadi mereka masuk mediasi agak telat, sehingga sudah cukup berkarat,” katanya saat ditemui hukumonline di Jakarta, Kamis (16/9). (Baca Juga: Mediator: Bila Senyum Belum Memihak Para Penengah) 
Menurutnya, semakin lama perkara diselesaikan maka tingkat kesulitan yang dihadapi mediatorpun untuk membantu mencari titik temu juga semakin berat. Hal itu ditambah lagi dengan ego para pihak yang memuncak seiring berjalannya waktu. Sebaliknya, bila perkara anggaplah baru sebesar biji jagung namun sudah melakukan upaya mediasi, maka tak sulit bagi mediator untuk membantu mencarikan titik temu. 
Kondisi lain yang mungkin bisa memicu kegagalan mediasi adalah pihak bersengketa acapkali cepat menyerah saat proses mediasi dilakukan. Sehingga, proses negosiasi yang dilakukan tidak maksimal lantaran mereka punya pikiran untuk menyudahi segera proses mediasi dan membawa perkara ini ke jalur lain, misalnya pengadilan.
“Tingkat emosi para pihak sudah sangat tinggi. Mereka cepat nyerah dan akhirnya masuk pengadilan. Disini negosiasi terlalu cepat, tidak telaten,” kata Fahmi. (Baca Juga: Dualisme BANI, Momentum Tunjukkan ‘Eksistensi’ Jalur Penyelesaian Mediasi)
Pada prakteknya, setiap mediator tentu mengusahakan agar masalah yang dimintakan bantuan kepadanya untuk diselesaikan secara tuntas. Bahkan, metode serta strategi yang biasanya dilakukan seperti ‘mendinginkan suasana’, ‘perbaiki arus komunikasi’, ‘bantu menciptakan dan mengembangkan opsi’, ‘antisipasi kebuntuan’, ‘ciptakan keraguan’, serta ‘menurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi’ pasti dicoba diterapkan.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait