Manakala Kurandus Sudah Sembuh
Putusan Terpilih MA 2016:

Manakala Kurandus Sudah Sembuh

Seorang isteri berhak meminta pembatalan pengampuan atas suaminya. Putusan ini bisa mengisi kekosongan hukum.

Oleh:
MYS/NEE
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengampuan terhadap orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum. Ilustrator: HGW
Ilustrasi pengampuan terhadap orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum. Ilustrator: HGW
Setiap orang mungkin ingin menghindari penyakit ini: sakit ingatan, boros, jasmani lemah, dan tidak mampu mengurus diri sendiri. Tetapi seperti pepatah untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, penyakit itu bisa saja menimpa seseorang yang telah dewasa. Orang yang berusia lanjut, misalnya, rentan penyakit lupa ingatan dan susah mengurus kepentingannya sendiri.

Apakah orang semacam itu bisa melakukan suatu tindakan demi kepentingannya sendiri, semisal menjual tanah? Bisakah orang gila menandatangani suatu kontrak? Jawabannya tegas: tidak! Tetapi hukum bisa memberi solusi atas persoalan tersebut: curatele alias pengampuan. Orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum itu diampu oleh seseorang, sehingga kepentingan hukumnya tetap bisa dipenuhi.

Pasal 433 BW (KUH Perdata) menyebutkan setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Masih menurut pasal yang sama, orang dewasa yang sangat boros pun layaknya ditaruh di bawah pengampuan. Orang yang di bawah pengampuan itulah yang disebut dengan kurandus (curandus). (Baca juga: Pengampuan Sebagai Cara Menghindari Penjualan Harta).

Dalam pengampuan, peran hakim sangat besar. Itu tercermin dari rumusan Pasal 436 BW, ‘segala permintaan tentang pengampuan harus diajukan ke pengadilan negeri di daerah hukum orang yang dimintakan pengampuan’. Pasal 437-439 BW pun menyinggung bagaimana hakim (pengadilan) mendengar para pihak dalam rangka memverifikasi permohonan pengampuan. Pertanyaannya, bolehkah pengampuan itu dimintakan secara sepihak? Bolehkan sepihak pula meminta pembatalan penetapan pengampuan? (Baca juga: Curatele (Pengampuan) dan Kepailitan).

Jawaban atas pertanyaan itulah yang bisa dibaca lewat putusan MA No. 152K/Pdt/2014. Putusan ini satu dari 11 putusan terpilih yang masuk Laporan Tahunan MA 2016. (Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions 2016).

Seorang anak tertua meminta penetapan pengadilan untuk pengampuan ayahnya yang sudah tua, empat kali menjalani operasi bypass jantung, menjalani kemo dan operasi di bagian kepala. Sang ayah sudah mengalami sakit, penurunan daya ingat, dan kesulitan mengurus kepentingannya sendiri. Sebelum semuanya menjadi lebih fatal, sang ayah memberi kuasa kepada anak pertamanya untuk mengurus harta. Sang anak lantas mengajukan permohonan pengampuan ke pengadilan. Dan, pengadilan mengabulkan permohonan itu. (Baca juga: PHK Pekerja Sakit Jiwa).

Rupanya, pengampuan itu tak disetujui isteri kurandus. Sang isteri meminta pembatalan penetapan pengampuan yang pertama. Alasannya, suaminya sudah sembuh sebagaimana dibuktikan lewat rekam medis (medical record) terbaru dari rumah sakit di Jakarta. Kondisi kesehatan kurandus terus membaik, kesehatannya pulih. Karena itu, alasan pengampuan sudah tidak ada lagi alias hilang. Hakim pun mendengar langsung kurandus bersaksi di depan sidang. Yakin bahwa kurandus telah pulih, hakim mengabulkan permohonan pembatalan curatele. Hakim ‘memberhentikan sang anak dari posisi pengampu’ dan membatalkan pengampuan terdahulu.

Perkara ini berlanjut ke Mahkamah Agung. Pada tingkat kasasi, majelis hakim agung menolak permohonan yang diajukan oleh sang anak. Majelis hakim agung –beranggotakan H. Djafni Djamal, Yakup Ginting dan Nurul Elmiyah-- menegaskan permohonan pengakhiran atau penghentian curatele dimungkinkan dan pengadilan negeri berwenang untuk itu.

Kaidah hukum penting dari putusan ini adalah kebolehan mengajukan permohonan secara voluntair untuk membatalkan pengampuan. Pulihnya kesehatan terampu atau kurandus dan sudah bisa menjalankan kegiatan secara normal atau baik dapat dijadikan alasan permohonan penghentian pengampuan. Jadi, anggota keluarga dapat mengajukan permohonan pembatalan curatele dengan dalih kurandus sudah sembuh.

Akhmad Budi Cahyono, dosen hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan pengampuan memang berakhir jika orang yang diampu sudah sembuh. Cuma memang tidak diatur secara spesifik dalam KUH Perdata siapa yang berhak memintakan pembatalan pengampuan. “Kalau orang yang diampu mengajukan pembatalan, tidak logis. Bagaimana bisa orang yang tidak cakap mengajukan permohonan ke pengadilan,” ujarnya kepada Hukumonline.

Menurut dia, selagi masih di bawah pengampuan, kurandus tetap tidak cakap bertindak menurut hukum. Dasarnya ada di Pasal 460 KUH Perdata. Kurandus baru sah mengajukan jika status curatele dicabut. (Baca juga: Pengurusan Harta Kekayaan Anak yang Belum Dewasa).  

Pasal 460 KUH Perdata (BW)

Pengampuan berakhir jika sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; sementara itu, pembebasan dari pengampuan tak akan diberikan kecuali dengan memperhatikan acara yang ditentukan undang-undang guna memperoleh pengampuan, dank arena itu seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan tak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum putusan tentang pembebasannya memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam kasus yang dijadikan putusan terpilih, Mahkamah Agung mengakui hak isteri kurandus mengajukan pembatalan pengampuan. “Putusan yang membenarkan isteri (mengajukan pembatalan—red), sudah tepat, mengisi kekosongan hukum,” ujarnya. “Karena isteri orang yang punya kepentingan terhadap suaminya,” sambung Akhmad Budi Cahyono.

Dalam putusan lain, No. 1753 K/Pdt/2005, Mahkamah Agung menyatakan penetapan suatu pengampuan dapat dimintakan pembatalan jika ternyata hakim salah menerapkan hukum materil khususnya tentang syarat untuk menetapkan seseorang di bawah pengampuan. Sesuai Pasal 438 KUH Perdata, hakim wajib mendengarkan keterangan keluarga sedarah dan semenda. Bahkan Pasal 439 KUH Perdata meminta agar hakim mendengar juga keterangan orang yang akan diampu. Menurut majelis hakim perkara ini –beranggotakan Harifin A Tumpa, I Made Tara, dan Andar Purba—jika syarat Pasal 438 dan 439 KUH Perdata tidak terpenuhi maka penetapan pengampuan dinilai cacat hukum.

“Bahwa karena penetapan tersebut cacat hukum maka perbuatan tergugat yang dilakukan atas dasar penetapan tersebut dinilai perbuatan melawan hukum,” demikian antara lain pertimbangan majelis hakim agung dalam perkara No. 1753 K/Pdt/2005 itu.

Jadi, kalau kurandus sudah sembuh, anggota keluarga sebaiknya segera meminta pembatalan pengampuan. Mahkamah Agung sudah membuka ruang permintaan pembatalan itu diajukan secara sepihak, voluntair. Ini penting untuk menyelesaikan persoalan hukum yang mungkin timbul di kemudian hari.
Tags:

Berita Terkait