Menelusuri Rasio Legis Aturan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah
Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:

Menelusuri Rasio Legis Aturan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah

Menjaring pejabat kepala daerah yang bersih dari persoalan etika dan hukum, juga mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, menjaga integritas kepala daerah agar tidak melakukan perbuatan tercela.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT/CR-23
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Beberapa bulan terakhir masyarakat Indonesia dilelahkan dengan kasus dugaan penistaan agama. Ratusan ribu, hingga jutaan orang berbondong-bondong berunjuk rasa di seputar silang Monas hingga Istana Negara sebagai bentuk protes atas kasus dugaan penistaan agama. Tuntutannya, selain proses hukum yang adil, juga permintaan pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang tersandung kasus hukum dan berstatus terdakwa, seperti yang kini tengah dialami Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan mungkin beberapa kepala daerah yang lain.

Sejak kasus ini, polemik aturan pemberhentian sementara kepala daerah yang berstatus terdakwa kembali muncul. Masyarakat kalangan bawah, elit hingga akademisi pun terbelah memaknai aturan pemberhentian sementara kepala daerah ini. Tepatnya, aturan pemberhentian sementara kepala daerah ini diatur Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Dalam kasus Ahok, pemerintah seolah sangat “berhati-hati” melakukan pemberhentian sementara, meski telah duduk di kursi pesakitan. Perlakuan pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo terhadap Ahok berbeda dengan kepala daerah yang tersandung kasus hukum dengan ancaman 5 tahun yang langsung diberhentikan. Lantas seperti apa rasio legis atau alasan dan tujuan munculnya aturan pemberhentian terhadap kepala daerah tersandung kasus hukum.

Jika ditelusuri aturan pemberhentian sementara kepala daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 nyaris tak banyak berbeda dengan UU Pemda sebelumnya. Pertama, aturan pemberhentian sementara diatur Pasal 51 dan Pasal 52 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemda. Namun memang aturan pemberhentian tersebut belum sedetil dalam UU Pemda terbaru (UU No. 23 Tahun 2014).  
Pasal 51 menyebutkan:
Kepala Daerah dibehentikan oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 52
(1). Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD.

Kedua, UU No. 22 Tahun 1999 dilakukan perubahan pertama melalui UU No. 32 Tahun 2004 Aturan pemberhentian sementara kepala daerah diatur Pasal 30 ayat (1) dan 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. Ketiga, empat tahun kemudian, UU No. 32 Tahun 2004 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Perubahan ini cenderung lebih banyak mengatur pemilihan kepala daerah. Sedangkan aturan pemberhentian sementara nyaris tak berubah.

Jauh sebelum munculnya kasus Ahok, aturan pemberhentian sementara kepala daerah dalam Pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat dipersoalkan ke Mahkamah Kontitusi (MK) oleh sejumlah aktivis koalisi masyarakat sipil. Yakni, Zainal Arifin Mochtar (Pukat UGM), Feri Amsari (PuSako FH Universitas Andalas), Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2013 lalu. Baca Juga: Aturan Pemberhentian Kepala Daerah Perlu Ditafsirkan

Kala itu, Pemohon berpandangan, ketentuan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala daerah berdasarkan frasa “pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih” inkonstitusional karena seringkali disalahtafsirkan. Mereka mencontohkan kasus korupsi mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin yang dihukum empat tahun penjara. Sebab, Agusrin tidak termasuk kepala daerah yang bisa diberhentikan sementara karena hanya dipidana empat tahun penjara.Karena itu, pemohon meminta nantinya kata frasa “paling singkat..” dihilangkan. Sebab, frasa itu praktiknya cenderung diartikan lain, hanya ancaman pidana lima tahun yang nantinya dapat diberhentikan secara tetap.
Pasal 30 menyebutkan:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 31
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Alhasil, atas permohonan ini, MK menyatakan menolak permohonan para pemohon. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengutip keterangan pemerintah dan DPR yang menyatakan frasa “paling singkat 5 (lima) tahun” yang dalam Pasal 30 UU Pemda memiliki makna yang sama dengan frasa “yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih”. Praktiknya, pemaknaan itu telah dilaksanakan dan dijadikan dasar hukum memberhentikan sementara atau tetap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih. Baca Juga: MK Tolak Pengujian UU Pemda

Mahkamah berpendapat munculnya tafsiran yang berbeda dari maksud pembentuk UU itu memang dimungkinkan terjadi. Mengingat, siapapun akan mencoba menafsirkan norma peraturan perundang-undangan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Karenanya, sepanjang penafsiran norma itu tidak menyimpang dari pemaknaan resmi pembentuk UU (tafsir otentik) dan rasional, norma itu tidak dapat dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Enam tahun berselang, UU Pemda kembali dilakukan perubahan pada 2014 melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Ternyata, UU No. 23 Tahun 2014 kembali mengalami perubahan melalui UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Namun, bunyi redaksional Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tak berubah. Perubahan lebih banyak soal aturan pengisian jabatan kepala daerah.

Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014, kepala daerah dapat diberhentikan sementara apabila telah didakwa tindak pidana yang ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, korupsi, terorisme, makar, serta  tindak pidana terhadap keamanan negara yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Selengkapnya Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda menyebutkan:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”.  Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Peraturan Perundangan-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Wicipto Setiadi mengatakan UU Pemda memang beberapa pasal mengalami perubahan. Namun, pasal pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang tersandung kasus hukum tidak banyak mengalami perubahan.

“Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014, niat (alasan) pembentuk UU, aturan tersebut tidak mempersoalkan tuntutan hukuman, tetapi lebih ke ancaman hukum pidana dalam dakwaan jaksa terhadap terdakwa,” kata Wicipto kepada hukumonline di kantornya beberapa waktu lalu.  

Dia menilai ketika seorang kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana hingga duduk di kursi pesakitan (persidangan) yang diancam hukuman lima tahun penjara sesuai ancaman pasal dakwaan jaksa, maka dapat dilakukan pemberhentian sementara. Dia beralasan rasio munculnya Pasal 83 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang hanya menyebut beberapa tindak pidana tertentu sebagai dasar pemberhentian kepala daerah berupaya mencari kepala daerah yang bersih dari persoalan hukum dan etika.

“Jadi memang niatnya (alasan munculnya Pasal 83 UU Pemda) kita mau mencari kepala daerah itu, kepala daerah yang bersih,” kata pria yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Menkumham ini.

Sebagai orang yang kerap mewakili pemerintah dalam pembahasan perundang-undangan di DPR, Wicipto banyak mengetahui pembahasan peraturan perundangan. Menurutnya, dulu dalam pembahasan RUU Pemda di parlemen, sempat terbersit dari DPR untuk meniadakan ketentuan ancaman lima tahun. Namun hal tersebut urung dilakukan. “Orang Tuhan saja memaafkan kok. Ini bukan masalah Tuhan memaafkan atau tidak, tetapi kita mencari kepala daerah terbaik. Sebenarnya itu niatnya mencari kepala daerah bersih,” tegasnya.  

Mantan Ketua Panja RUU Pemda, Achmad Riza Patria mengatakan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 sudah gamblang menjelaskan kepala daerah yang tersandung kasus tindak pidana dengan ancaman hukuman lima tahun mesti diberhentikan sementara. Pembentukan Pasal 83 memang menjadi perdebatan saat pembahasan antara DPR dan pemerintah. “Jadi sudah jelas, bagi yang mendapat ancaman hukuman lima tahun dia (kepala daerah) harus diberhentikan,” ujarnya, Kamis (6/4) kemarin.

Sementara Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (Jubir MK), Fajar Laksono berpandangan adanya perbedaan penafsiran Pasal 83 semestinya diajukan penafsiran konstitusional ke MK. Dia mengakui MK pernah memutus aturan pemberhentian sementara kepala daerah, tetapi ditolak. Alasannya, MK menganggap aturan tersebut bukan persoalan konstitusionalitas norma, tetapi menyangkut penerapan norma pemberhentian sementara kepala daerah bermasalah hukum oleh pemerintah. Apalagi berstatus terdakwa.

“Seharusnya masalah tafsir di bawah saja ke MK, bukan menafsirkan masing-masing, tetapi ditafsirkan menurut konstitusi,” kata Fajar.

Menurutnya, aturan pemberhentian sementara kepala daerah dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 menguntungkan semua pihak. Pertama, kepala daerah yang berstatus terdakwa yang diberhentikan sementara bisa fokus menghadapi persoalan hukumnya. Kedua, masyarakat pun tak terganggu dengan tidak nonaktifnya kepala daerah yang disidangkan lantaran roda pemerintahan bisa tetap berjalan.   

Dia menegaskan norma Pasal 83 UU Pemda sudah jelas. Namun sayangnya, penerapannya berbeda-beda antara satu daerah satu dengan daerah lainnya. Perbedaan penerapan ini menjadikan masyarakat menilai adanya kepentingan politis di balik keputusan pemberhentian kepala daerah.      

Dia menilai kepala daerah yang berstatus terdakwa sudah semestinya dinonaktifkan sementara. Toh, sepanjang kepala daerah yang bersangkutan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana dapat diaktifkan kembali sepanjang masa jabatannya belum selesai. “Nanti kalau tidak ada masalah nanti kan dia (diaktifkan, red) kembali,” katanya.

Wujudkan pemerintahan bersih
Wicipto melanjutkan rasio legis rumusan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 selain menjaring pejabat kepala daerah yang bersih dari persoalan etika dan hukum, juga mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Yakni bersih dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme.  Sebab, mendapatkan kepala daerah yang yang bersih dari persoalan etika dan hukum, roda pemerintahan di daerah menjadi bersih.

Dirinya khawatir apabila kepala daerah yang bermasalah secara etika dan hukum tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin bakal membangun ketidakpercayaan publik terhadap Pemda setempat. Ini kan untuk membangun kepercayaan pemimpinnya. Kalau pemimpinnya sudah begitu bagaimana masyarakat mau taat. Jangan-jangan nanti bawahannya dan masyarakat menilai orang pemimpinnya begitu, yah saya ikutan,” katanya.

Soal adanya perbedaan tafsir terhadap Pasal 83 UU Pemda, Wicipto berpandangan tak mesti menunggu requisitor atau surat tuntutan jaksa. Namun sepanjang jaksa dalam pasal dakwaan ternyata ancaman hukuman paling lama lima tahun, maka pemerintah dapat melaksanakan ketentuan UU. “Kenapa sih, pasal yang sudah ada tidak kita laksanakan. Jadi tinggal masalah mau tidak, melaksanakan ketentuan itu gitu loh,” ujarnya.

Dia berharap agar semua pihak dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan menghindari kepentingan tertentu. “Jangan-jangan kita belum laksanakan pasal itu secara betul, atau mungkin sebetulnya kalau kita laksanakan tanpa ada kepentingan itu bisa. Jadi soal kemauan atau tidak. Jadi saya kira dasarnya adalah itu. Jadi lebih menjaga kepala daerah menjalankan pemerintahan yang baik. Jadi dalam menjalankan kebijakan itu singkirkanlah kepentingan pribadi dan golongan,” pesannya.

Riza mengamini pandangan Wicipto terkait rasio legis munculnya Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014. Dikatakan Riza, munculnya Pasal 83 dalam UU 23 Tahun 2014 lantaran pemimpin di tingkat daerah mulai tingkat bawah sampai tingkat provinsi, mesti memiliki integritas. Menurutnya, integritas berada diatas kompetensi, sehingga menjadi persoalan ketika memiliki kompetensi, tetapi minim integritas.

“Buat apa punya kompetensi tapi tidak punya integritas, makin rusak itu. Sehingga, kita bersepakat integritas berada di atas. Karena ini soal amanah, soal moral, soal kejujuran, keadilan,” pungkas politisi Partai Gerindra itu. 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait