MA Tolak Berikan Fatwa Terkait Status Pemberhentian Ahok
Berita

MA Tolak Berikan Fatwa Terkait Status Pemberhentian Ahok

MA mengembalikan persoalan status Ahok ke Mendagri sekaligus menunggu putusan PTUN.

ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Muhammad Syarifuddin. Foto: Humas Setkab
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Muhammad Syarifuddin. Foto: Humas Setkab
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menolak untuk memberikan pendapat hukum atau fatwa terhadap status polemik pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang secara resmi diajukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

“Isi surat (jawabannya), kami tidak memberikan pendapat karena sudah ada dua gugatan TUN (Tata Usaha Negara) yang masuk ke Pengadilan TUN,” kata Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M. Syarifuddin usai seminar bertajuk “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Implementasi Perma No. 13 Tahun 2016” di Jakarta, Selasa (21/2). (Baca juga : Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA)

Sebelumnya, Mendagri pada 14 Februari 2017 mendatangi MA untuk meminta fatwa MA terkait dengan status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama.

Saat ini, status Ahok masih menjadi gubernur digugat oleh Advokat Muda Peduli Jakarta (AMPETA) pada 13 Februari 2017 ke PTUN Jakarta. Sebab, mereka menilai Ahok semestinya diberhentikan sementara sebagai gubernur. Selain AMPETA, Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) juga mengajukan gugatan ke PTUN pada 20 Februari 2017 dan menuntut agar Presiden Joko Widodo untuk memberhentikan Ahok sebagai gubernur.

“Fatwa sudah ada kemarin sudah dikeluarkan (dikirim ke Mendagri), mengenai itu, kalau kita berikan fatwa itu akan mengganggu independensi hakim karena ada dua gugatan TUN mengenai hal yang sama yang sudah masuk ke TUN,” kata Syarifuddin menerangkan.

Artinya MA mengembalikan ke Mendagri terkait status Ahok dan menunggu putusan PTUN. “Kalau kita yang memberi fatwa, seperti kita yang memutuskan, kan pengadilan harus berjalan,” tegas Syarifuddin.

Juru Bicara MA, Suhadi menambahkan MA sudah mengantisipasi dan membatasi diri untuk tidak mengeluarkan pendapat hukum bila persoalan itu sudah atau berpotensi dibawa ke tahap pengadilan.

“MA memegang prinsip kalau minta petunjuk atau pertanyaan materi ada keterlibatan suatu perkara, maka MA mencegah diri untuk mengeluarkan pendapat soal itu. Kalau ada indikasi dalam konteks perkara atau akan jadi perkara, MA mencegah diri untuk berpendapat karena khawatir mengganggu independensi hakim untuk memutus, karena institusi tertingginya (MA) sudah memutus misalnya,” kata Suhadi dalam acara yang sama.

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri meminta fatwa MA terkait desakan sebagian pihak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena sudah berstatus sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama. Pengaktifan Ahok kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta usai menjalani masa cuti kampanye Pilkada dinilai melanggar Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah itu menyebutkan “Kepala daerah dan/atau/wakil/kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam Kasus ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, melanggar Pasal 156 huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Ancaman Hukuman Pasal 156 KUHP paling lama empat tahun dan Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman paling lama (maksimal) lima tahun penjara. Namun, saat ini Ahok tidak diberhentikan sementara meski sudah berstatus terdakwa dengan ancaman hukuman pidana 5 tahun. (Baca juga: Satu Perspektif Hukum Pidana Tentang Pemberhentian Sementara Ahok Oleh: Arsul Sani*)
Tags:

Berita Terkait