Realisasi AEoI, Indonesia Harus Penuhi 4 Syarat
Berita

Realisasi AEoI, Indonesia Harus Penuhi 4 Syarat

Salah satunya adalah revisi UU KUP.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Delegasi Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 12 April 2017 kembali mengadakan kunjungan kerja ke Kantor Pusat National Tax Agency di Tokyo, Jepang untuk membahas penerapan standar pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information). Pertemuan ini merupakan yang kedua antara pejabat Ditjen Pajak dan NTA setelah pertemuan sebelumnya pada 21 Maret 2017 yang silam membahas tema AEOI dan aksi anti-pelarian pajak dengan skema base erosion and profit shifting (BEPS).

Kunjungan delegasi Ditjen Pajak yang dipimpin Direktur Perpajakan Internasional, John Hutagaol, dan Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, diterima Director of International Operation Division NTA Japan, Yoshinori Ikeda, dan Director of EOI NTA Japan, Tadahiko Ban.

Berdasarkan rilis yang diterima oleh hukumonline, Kamis (13/4), dalam pertemuan tersebut kedua otoritas pajak membahas mengenai kesiapan kedua negara dalam melaksanakan standar AEoI yang akan mulai berlaku secara global pada bulan September 2018. Sekurang-kurangnya ada empat persyaratan yang harus dipenuhi setiap negara/jurisdiksi untuk melaksanakan pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Apa saja?

Pertama, yaitu tersedianya perjanjian internasional untuk melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Kedua, ketentuan perundang-undangan domestik terkait dengan implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Ketiga, kerahasian dan keamanan informasi keuangan yang akan dipertukarkan, dan keempat kesiapan sarana teknologi informasi untuk melakukan pertukaran. (Baca Juga: Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information)

Selain membahas tentang AEoI, Ditjen Pajak dan NTA Jepang juga membahas mengenai kesiapan penandatanganan multilateral instrument (MLI) pada bulan Juni 2017 yang direncanakan akan dilaksanakan di Paris, Perancis. Indonesia dan Jepang akan memenuhi minimal standard dalam MLI ditambah hal lainnya seperti BUT.

“Kedua negara sepakat akan memanfaatkan MLI secara efektif untuk menselaraskan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan rekomendasi aksi BEPS,” tulis rilis tersebut.

Pemerintah Indonesia dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 di Baden-Baden, Jerman pada 17-18 Maret 2017 kemarin menegaskan pentingnya komitmen perpajakan internasional guna mengatasi penghindaran pajak.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Indonesia sangat membutuhkan kerjasama perpakajakan internasional untuk mengatasi penghindaran pajak. Dari pengalaman Indonesia melaksanakan program pengampunan pajak (Tax Amnesty) misalnya, diketahui banyak wajib pajak Indonesia yang selama ini tidak mendeklarasikan aset dan pendapatan yang disimpan di luar negeri. (Baca Juga: Penuhi Syarat Automatic Exchange of Information Lewat Revisi KUP)

“Kerjasama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antar negara. Tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani, dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (19/3).

Lebih lanjut, kata Ani, pengalaman Indonesia dalam melaksanakan program tax amnesty ternyata dimana hasilnya menunjukkan bahwa aset yang dideklarasikan sangat besar sementara aset yang direpatriasi masih relatif kecil. Indonesia memandang negara anggota G-20 harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan program kerja sama perpajakan internasional yang kuat dan transparan, namun tetap memperhatikan keadilan dan kesiapan seluruh negara yang ingin ikut berpartisipasi di dalamnya.

(Baca Ulasan Penting tentag Persiapan Indonesia Jelang AEoI: Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information)

Ani menekankan, jangan sampai negara yang ingin bergabung dalam program Automatic Exchange of Information (AEoI) dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) kemudian menjadi korban dari program itu sendiri akibat ketidakmampuan negara tersebut menyiapkan diri. Indonesia berharap dengan implementasi program kerjasama tersebut, maka tidak ada lagi ‘loophole’ bagi praktek-praktek penghindaran pajak internasional serta tidak ada lagi negara yang menggunakan perbedaan sistem pajak untuk melakukan inovasi instrumen keuangan yang bertolak belakang dengan semangat BEPS dan AEOI.

“Indonesia sebagai negara anggota G-20 siap berpartisipasi dalam implementasi kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis (AEoI) dan pelaksanaan prinsip BEPS secara menyeluruh dan efektif. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negera G-20 juga secara bulat menyepakati agar program AEOI dan BEPS sepenuhnya diimplementasi mulai bulan September 2017 dan selambat-lambatnya pada bulan September 2018,” papar Ani.

Tags:

Berita Terkait