Tanpa Daya Pemaksa, Jaminan Produk Halal Bak Macan di Atas Kertas
Berita

Tanpa Daya Pemaksa, Jaminan Produk Halal Bak Macan di Atas Kertas

Meski wajib sertifikasi halal bagi produk, tak ada pengaturan sanksi bagi yang melanggar

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Diskusi halal watch. Foto: NNP
Ilustrasi Diskusi halal watch. Foto: NNP
Sejak disahkan pada tahun 2014, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih dalam masa peralihan ketentuan produk halal yang beredar di Indonesia. Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia baru mulai berlaku lima tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Namun demikian, UU JPH sendiri memiliki kelemahan bawaan. Kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia tidak disertai sanksi pemaksa bagi pelaku usaha yang melanggarnya.

Jaminan penyelenggaraan produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat muslim di Indonesia. Juga ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha dalam memproduksi dan menjual produk halal di pasar. Pasal 4 termasuk bagian penting UU JPH: “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”

Meskipun memuat pengaturan lebih lanjut ketentuan teknisnya dalam UU JPH ini, tidak satupun yang justru memuat sanksi pemaksa. Hal ini jelas mengaburkan norma imperatif tersebut karena tidak adanya konsekuensi hukum yang jelas dan tegas bagi penegakkannya. (Baca juga: UU Jaminan Produk Halal Dipercaya Jadi ‘Penolong’ Indonesia di MEA).

Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, mengatakan UU JPH justru tidak tegas mengatur  penjaminan produk halal. Pelaksanaannya masih lebih bergantung pada kesadaran hukum pelaku usaha untuk menyediakan jaminan kehalalan produk kepada konsumen. Itu pun hanya jika produsen merasa produknya akan diuntungkan untuk mendapat penerimaan pasar yang lebih baik di kalangan konsumen muslim melalui sertifikasi halal. “Semangatnya sih wajib ya, cuma pelaksanaannya sulit,” ungkap Heru.

Ia berpendapat kelemahan terbesar dari UU JPH adalah norma yang menjadi intinya memang tidak memberikan konsekuensi apapun jika dilanggar. Belum lagi prosedur teknis pihak-pihak terkait dalam prosedur sertifikasi halal. Dalam Ketentuan Penutup, Pasal 67 UU JPH, disebutkan kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Dalam jeda waktu ini, para pelaku usaha diminta melakukan penyesuaian produknya secara bertahap sesuai dengan UU JPH. Pengendaliannya dilakukan oleh badan khusus bernama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

BPJPH memiliki sepuluh kewenangan kunci antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; dan melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal. Sesuai ketentuan Pasal 64 BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Hingga tahun ini belum terdengar kabar peresmian berdirinya BPJPH, apalagi program kerjanya. Padahal berdasarkan masa peralihan, UU JPH harus sudah berlaku efektif di tahun dua tahun lagi pada 2019. Oleh karena itu, kata Heru, kondisi yang terjadi menunjukkan dinamika negatif di kalangan pembuat  dan pelaksana undang-undang. “Saya lihat kurang serius nih baik dari pihak pembuat undang-undang maupun dari pihak Pemerintah,” katanya.

Tidak hanya mengatur sertifikasi halal yang dicantumkan dalam label produk, Pasal 26 UU JPH sebenarnya juga menegaskan produk yang berasal dari bahan baku yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Sebagai gantinya produk ini wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada label produk. Sederhananya, UU JPH mengatur adanya label halal dan label haram yang wajib dicantumkan pada produk. “Sama saja kayak UU Zakat, nggak bayar zakat nggak ada sanksi, sanksinya dari Allah,” tambahnya.

Heru memaparkan bahwa kelemahan bawaan ini dapat dilihat dari dinamika politik di DPR yang dipenuhi kecurigaan berbagai elemen fraksi UU JPH membawa misi tertentu dari parpol Islam. Padahal dalam konsideran serta penjelasan UU JPH telah diuraikan adanya kewajiban konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, termasuk ketentuan produk halal yang dikenal dalam Islam sebagai agama yang dipeluk 85% masyarakat Indonesia.

Karena berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal dirasakan belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim selama ini, maka dibentuklah UU JPH. “Jadi saja (disahkan) sudah Alhamdulillah,” ujarnya.

Heru menyarankan agar kekosongan hukum yang tidak ditegaskan dalam UU JPH dapat dimuat dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri teknis. Disamping itu, upaya mendidik konsumen untuk selalu proaktif dan selektif dalam mengonsumsi hanya produk yang jelas sertifikasi halalnya juga menjadi langkah konkret membumikan UU JPH dalam kesadaran hukum masyarakat.

Heru juga berpendapat jaminan produk halal sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan hak beragama masyarakat muslim, namun juga nilai higienis tinggi dari suatu kriteria produk halal yang juga bisa dinikmati masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini karena sebagian besar kriteria produk halal justru berkaitan dengan dampak kesehatan fisik dan sosial bagi manusia.

“Halal juga adalah higienis, sehat, tidak hanya bahannya tapi juga transportasi, distribusi, penyimpanan, penjualan, membuatnya dalam keadaan baik dan sebagainya,” jelas dosen yang juga peneliti senior di LKIHI ini.
Tags:

Berita Terkait