Money Changer dan Pelaku Sistem Jasa Pembayaran Wajib Identifikasi Beneficial Owner
Berita

Money Changer dan Pelaku Sistem Jasa Pembayaran Wajib Identifikasi Beneficial Owner

Bank Indonesia melalui aturan terbaru mewajibkan Customer Due Dilligence (CDD) secara lebih mendalam (enhanced) bagi Penyelenggara Sistem Pembayaran dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (Kupva BB) kepada calon pengguna jasa, pengguna jasa, penerima kuasa, termasuk beneficial owner.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia (BI) merevisi aturan terkait anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Penyelenggara Sistem Jasa Pembayaran dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (Kupva BB). Dalam aturan terbarunya, setiao penyelenggara diwajibkan melakukan identifikasi kepada pengguna, bahkan sampai kepada penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial owner).

Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Eni V. Panggabean mengatakan bahwa penyempurnaan peraturan tersebut dilakukan untuk menjawab tantangan dalam mendukung program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), salah satunya perkembangan teknologi sistem informasi. Berbagai inovasi dalam kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing, berpotensi meningkatkan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.

“Produk, jasa, transaksi dan model bisnis pada kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing menjadi semakin kompleks. Hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme,” kata Eni dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/9).

Melalui aturan yang baru, yakni Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (PBI APU PPT), penggunaan teknologi dalam pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) masih diperkenankan sepanjang dilengkapi dengan kebijakan dan prosedur pengendalian risiko yang efektif.

Namun, lanjut Eni, untuk meningkatkan kehati-hatian setiap pengembangan produk dan teknologi baru yang dilakukan penyelenggara harus terlebih dahulu dilakukan penilaian (assessment) terhadap risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. (Baca Juga: Aturan Beneficial Owner untuk Kejar Wajib Pajak di Tax Haven)

Dalam aturan terbaru, pelaksanaan CDD Sederhana (Simplified CDD) masih dimungkinkan sepanjang kepada pengguna jasa yang termasuk kategori berisiko rendah dengan latar belakang turut mendukung program pemerintah terkait inklusi keuangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan.

“Dalam menerapkan APU dan PPT, penyelenggara wajib menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), antara lain dengan memperhatikan faktor risiko terkait pengguna jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, dan jalur atau jaringan transaksi. Risk-based approach juga akan diterapkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan APU PPT oleh penyelenggara,” kata Eni menjelaskan.
Peraturan Terkait APU dan PPT yang Dicabut Pasca PBI APU PPT
1.    PBI Nomor 12/3/PBI/2010tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank;
2.    PBI Nomor 14/3/2012tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank;
3.    SEBINomor 12/10/DPM tanggal 30 Maret 2010 perihal Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank; dan
4.      SEBI No.14/38/DASPtanggal 28 Desember 2012 perihal Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank.
 
Poin penting dalam revisi tersebut sebetulnya terkait kewajiban penerapan CDD terhadap pengguna jasa, calon pengguna jasa, dan beneficial owner dari pengguna jasa yang meliputi kegiatan identifikasi, verifikasi, dan pemantauan secara berkesinambungan (on going due diligence), serta memahami maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi.

Hal itu diwajibkan terutama terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah atau asing yang nilainya paling sedikit Rp100 juta rupiah atau setara. (Baca Juga: Pengungkapan Beneficial Owner ‘Pintu Masuk’ Kejar Korporasi Penghindar Pajak)

Selain minimal transaksi jumlah tersebut, beberap hal kondisi seperti adanya transaksi transfer dana, indikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta terdapat keraguan atas kebenaran informasi yang diberikan calon pengguna jasa, pengguna jasa, penerima kuasa, dan/atau beneficial owner.

Menurut PBI terbaru ini, identifikasi dan verifikasi dilakukan dengan cara meminta data, informasi, dan dokumen identitas dan memeriksa kesesuaian berdasrakan dokumen identitas yang diterbitkan instansi pemerintah, data kependudukan dari instansi pemerintah, dan data biometric atau data elektronik sepanjang penyelenggara dapat memastikan kebenaran data tersebut.

Masih merujuk ke PBI APU PPT, proses verifikasi dapat dilakukan dengan cara pertemuan langsung atau penggunaan cara lain sepanjang terdapat metode atau sarana teknologi yang memadai untuk melakukan verifikasi dan kebijakan prosedur pengendalian risiko secara efektif.

Prosedur pelaksanaan CDD wajib diterapkan secara lebih mendalam (Enhanced Due Diligence/EDD) terhadap calon pengguna Jasa, pengguna jasa, atau beneficial owner yang termasuk kategori berisiko tinggi. (Baca Juga: Ditjen Pajak Diminta Susun Aturan Terkait Beneficial Owner)

“Bank Indonesia juga dapat menetapkan pihak lainnya yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran atau penukaran valuta asing, seperti penyelenggara teknologi finansial (Financial Technology/fintech), untuk menerapkan APU dan PPT,” kata Eni.

Terkait sanksi, BI dapat mengenakan sanksi secara administratif kepada Penyelenggara maupun kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham, dan/atau Pejabat Eksekutif Penyelenggara. Dikatakan Eni, PBI APU PPT juga diperkuat dengan memungkinkan pengenaan sanksi tidak hanya kepada Penyelenggara namun dapat pula dikenakan kepada direksi, komisaris, pejabat eksekutif, dan pemegang saham yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan.

Sekedar informasi, PBI kali ini khusus berlaku baik bagi Penyelenggara KUPVA BB atau yang dikenal sebagai money changer maupun Penyelenggara Sistem Jasa Pembayaran Selain Bank yang antara lain berupa Penyelenggara Transfer Dana dan penerbit Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), penerbit atau aquirer dalam kegiatan uang elektronik, dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU).

Peraturan yang baru juga telah diselaraskan dengan upaya pemerintah untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta rekomendasi dan panduan (guidelines) yang diberikan oleh lembaga internasional Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

“Bank Indonesia akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada Penyelenggara dan masyarakat mengenai pentingnya penerapan APU dan PPT, serta melanjutkan pelaksanaan kerjasama dan koordinasi yang intensif dengan otoritas terkait seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” kata Eni.


Tags:

Berita Terkait