SOP KPK Terkait Pendampingan Penasihat Hukum Dipersoalkan
Berita

SOP KPK Terkait Pendampingan Penasihat Hukum Dipersoalkan

KPK beralasan membatasi jumlah penasihat hukum tersangka saat menjalani pemeriksaan karena kapasitas ruangan pemeriksaan terbatas. Diakui KPK, penasihat hukum dan kliennya tidak saling berdekatan, tetapi penasihat hukum tetap dapat memberi arahan kepada kliennya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Raharjo (kiri) menyerahkan daftar barang rampasan KPK kepada Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman (tengah) disaksikan Ketua Komisi III Bambang Soesatyo ketika mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/9). Foto: RES
Ketua KPK Agus Raharjo (kiri) menyerahkan daftar barang rampasan KPK kepada Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman (tengah) disaksikan Ketua Komisi III Bambang Soesatyo ketika mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/9). Foto: RES
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki KPK akhirnya diserahkan kepada Komisi III DPR. Dalam rapat kerja (Raker) antara Komisi III DPR dengan KPK kembali mempersoalkan SOP KPK Bidang Penindakan, mulai penyadapan hingga perlakuan terhadap penasihat hukum ketika mendampingi tersangka korupsi saat menjalani pemeriksaan.  

Perlakuan KPK terhadap penasihat hukum tersangka korupsi memang kerap dikeluhkan kalangan advokat saat mendampingi kliennya yang tersandung kasus korupsi. Hal itu pun kembali mendapat sorotan dari anggota Komisi III Erma Suryani Ranik terkait SOP pendampingan penasihat hukum, khususnya Pasal 109 ayat (1) poin 5 SOP dimaksud terkait aturan penasihat hukum dapat mendampingi kliennya ketika menjalani pemeriksaan di ruang pemeriksaan oleh penyidik dengan melihat dan mendengar. Dalam praktiknya, itu pun hanya satu orang penasihat hukum yang memberi pendampingan saat kliennya menjalani pemeriksaan. Ironisnya, penasihat hukum yang mendampingi kliennya hanya diperbolehkan melihat dan mendengar di ruangan terpisah.

“Itu seperti saksi, kuasa hukum ditempatkan di ruangan lain yang hanya dapat melihat dan mendengar,” ujar Erma saat RDP di Gedung DPR, Selasa (26/9/2017) kemarin.

Baginya, pendampingan dari penasihat hukum merupakan hak asasi manusia. Bahkan, kalangan masyarakat tidak mampu pun memiliki hak mendapat pendampingan/bantuan hukum. Terlebih, negara memberikan anggaran dalam pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Menurutnya, perlakuan KPK terhadap advokat/penasihat hukum yang memberi pendampingan terhadap kliennya terkesan bertentangan dengan KUHAP.

“Ini aneh, bertentangan dengan KUHAP. Ini hak dasar. Anda tidak bisa membuktikan bersalah atau tidak sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ini tersangka dipisahkan dengan penasihat hukum, dan penasihat hukumnya tidak bolehngomong,” sesalnya. Baca Juga: Densus Tipikor Tetap Memisahkan Penyidikan dan Penuntutan

Politisi Partai Demokrat yang berlatar belakang advokat itu merujuk Pasal 69 KUHAP. Pasal tersebut menyebutkan, Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Dengan begitu, saat tersangka menjalani pemeriksaan, penasihat hukum berhak mendampinginya di ruang pemeriksaan.

“Ini kenapa dipisahkan. Aneh. Di kepolisian tidak ada model seperti ini. Saya minta dijelaskan, karena banyak keluhan dari pihak penasihat hukum,” bebernya.

Anggota Komisi III DPR lain, Arsul Sani membenarkan pandangan Erma. Perlakuan KPK terhadap advokat saat mendampingi kliennya yang berstatus tersangka korupsi kerap dikeluhkan banyak advokat yang beracara di KPK. Arsul pun mengingatkan keberadaan Pasal 54 KUHAP. Pasal itu menyebut,“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berharap KPK semestinya bersikap bijak. Seperti halnya ketika pihak kepolisian memeriksa Bambang Widjojanto - kala itu masih sebagai Wakil Ketua KPK - di Bareskrim Polri, lebih dari satu orang (kuasa hukumnya) yang mendampingi pemeriksaan.

“Kalau lembaga penegak hukum lain bisa bijak, KPK juga harus bijak. Ini penasihat hukum harusnya lebih dari satu orang yang bisa mendampingi pemeriksaan,” kritiknya. Baca Juga: Jaksa Agung Persoalkan Kewenangan KPK Eksekusi Putusan Inkracht

Menurutnya, komunikasi penasihat hukum dengan kliennya dalam proses pemeriksaan (penyidikan) seharusnya diberi ruang yang cukup oleh KPK. Hal itu demi kepentingan pembelaan kliennya sebagaimana dijamin Pasal 70 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan, “Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.”

Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menampik tudingan anggota dewan. Dia beralasan perlakuan KPK terhadap penasihat hukum tersangka saat menjalani pemeriksaan di ruang pemeriksaan lantaran situasi. Sebab, ruang pemeriksaan di KPK tidak bisa menampung banyak orang. Namun demikian, penasihat hukum tetap diberikan akses dalam memberikan pendampingan terhadap kliennya.

“Terhadap penasihat hukum, penyidik pun bakal meminta kejelasan surat kuasa penasihat hukum dari kliennya,” kata Laode.  

Terkait ruangan terpisah, Laode pun punya alasan. Menurutnya, penasihat hukum yang mendampingi kliennya dalam pemeriksaan memang tidak saling berdekatan duduknya, namun tetap dapat berinteraksi. Menurutnya, penasihat hukum pun tetap dapat memberi arahan kepada kliennya. “Tetap (dapat beri arahan). Apa gunanya pendampingan kalau dia tidak berikan pendampingan hukum sama kliennya,” dalihnya.
Tags:

Berita Terkait