Putra Benyamin S Anggap UU Pemda Diskriminatif
Berita

Putra Benyamin S Anggap UU Pemda Diskriminatif

Biem T Benyamin, putra pelawak Benyamin S (almarhum) yang kini menjadi anggota MPR, mengkritik Undang-Undang Pemda. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 itu dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Putra Benyamin S Anggap UU Pemda Diskriminatif
Hukumonline

Penilaian itu disampaikan Biem di depan panel sidang Mahkamah Konstitusi yang dipimpin hakim Maruarar Siahaan, di Jakarta (01/3). Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili DKI Jakarta itu, Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda) seharusnya segera direvisi sebelum pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan. Sebab, ada banyak kelemahan yang tercantuam di dalamnya. Yang pasti, ada beberapa ketentuan yang tidak sesuai Konstitusi, ujarnya seusai sidang.

 

Biem menyebut perbedaan syarat untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan UU Pilpres, partai politik bisa mengajukan calon asalkan mencapai 3 persen kursi DPR atau 5 persen perolehan suara. Prosentase perolehan kursi dan suara cukup rendah.

 

Ironisnya, syarat yang sama tidak diberlakukan dalam Pilkada. Berdasarkan UU pemda, untuk dapat mengajukan calon paket kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), parpol harus memenuhi syarat 15 persen. Kenapa syaratnya dibedakan padahal sama-sama pemilihan eksekutif. Ini kan diskriminatif, tanya pemilik Ben's Radio.

 

Contoh lain yang dikritik Biem adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam satu paket, sebagaimana disebut pada pasal 24 ayat (5) UU Pemda. Puluhan pasal juga menyebut sistem paket tersebut. Masuknya wakil kepala daerah (wakil gubernur, wakil bupati, wakil walikota) itulah yang dipersoalkan Biem.

 

UUD 1945 memang hanya mengenal istilah gubernur, bupati atau walikota. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Konstitusi sama sekali tidak menyinggung adanya wakil-wakil dari kepala Pemda tersebut. Lantas, kenapa dalam Pilkada dipilih juga wakil kepala daerah?

 

Sayang, saat ditanyakan hakim konstitusi Prof. Mukhtie Fadjar dan Prof. HAS Natabaya, Biem nyaris tak bisa membuktikan hak konstitusionalnya yang dilanggar atas berlakunya UU Pemda sejak 15 Oktober tahun lalu. Apalagi dalam permohonannya ia mengajukan judicial review secara perseorangan. Oleh karena itu, hakim menyarankan Biem agar memperbaiki substansi permohonannya.

Tags: