Pengajuan PKPU Oleh Kreditor Perlu Diatur dalam PERMA
Utama

Pengajuan PKPU Oleh Kreditor Perlu Diatur dalam PERMA

‘Karakter permohonan PKPU oleh kreditor berbeda dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor.'

Bim
Bacaan 2 Menit
Pengajuan PKPU Oleh Kreditor Perlu Diatur dalam PERMA
Hukumonline

 

UU Persaingan Usaha (UU No 5/1999,red) sudah mengatur hukum acara tetapi tidak lengkap. Maka dari itu dikeluarkan Perma, ujar Chandra kepada hukumonline, di PN Jakpus, Rabu (10/8).

 

Di mata advokat dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners itu, karakter dari PKPU yang diajukan oleh kreditor berbeda dengan pengajuan oleh debitor. Pasalnya, apabila debitor yang mengajukan PKPU, maka sudah jelas terdapat pengakuan utang oleh debitor. Sedangkan PKPU oleh kreditor, kata Chandra, belum tentu pihak debitor mengakui adanya utang tersebut.

 

Memastikan para pihak

Berdasarkan pemantauan hukumonline, pemeriksaan cepat dan pembuktian sederhana untuk permohonan PKPU ini tidak terlaksana lantaran majelis hakim tak ingin tergesa-gesa mengabulkan begitu saja. Sebelum itu, majelis ingin memastikan kapasitas para pihak dalam perkara.

 

Bagaimanapun juga, PKPU ini dapat berujung pada pailit. Kalau PKPU yang diajukan kreditor ini langsung dikabulkan, salah-salah, jika rencana perdamaian dalam PKPU sementara dan PKPU tetap tidak tercapai, pihak termohon PKPU dapat dipailitkan begitu saja. Meskipun unsur adanya utang yang menjadi dasar kepailitan belum terbukti. 

 

Maka dari itu, majelis tidak begitu saja mengabulkan permohonan tersebut. Majelis khawatir, pemohon PKPU yang merasa dirinya kreditor, ternyata tidak benar.

 

Lalu apakah kemudian dalam konstruksi permohonan ini diperlukan proses jawab menjawab untuk memastikan kapasitas para pihak? Bahkan lebih jauh untuk membuktikan adanya utang atau tidak?

 

Hal ini pula yang nampaknya belum terjawab. Yang pasti, untuk memastikan kedudukan para pihak, majelis tidak cukup melakukan pemeriksaan secara formalitas berdasarkan permohonan PKPU semata. 

 

Dalam persidangan, majelis tetap memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan tanggapan. Majelis tidak mau jika kemudian dianggap sebagai biang keladi dari pailitnya suatu pihak, lantaran mengabulkan permohonan PKPU dari pihak yang tidak berkapasitas sebagai kreditor.

 

Pengakuan debitor

Menurut Aria Suyudi, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pengajuan PKPU oleh kreditor seharusnya berangkat dari asumsi, telah ada pembicaraan antara debitor dengan kreditor, yang intinya debitor mengakui utangnya terhadap kreditor.

 

Jadi, tanpa adanya pengakuan debitor itu, mustahil pengajuan permohonan PKPU dapat berjalan mulus di pengadilan. Inti dari undang-undang kepailitan adalah perdamaian daripada ribut-ribut di pengadilan. Sedangkan jiwa dari PKPU berdasar pada pengakuan utang terlebih dahulu, ujarnya.

 

Dihubungi secara terpisah, salah satu mantan hakim pengadilan niaga yang turut menjadi perumus UU No. 37/2004 yang menolak disebutkan namanya, ikut berpendapat. Kata dia, harus dipastikan dulu kapasitas kreditor sebelum mengajukan PKPU. Kalau dia tidak punya tagihan, dan dia bukan kreditornya, buat apa ajukan PKPU, tandasnya.

 

Selain itu, dia mengingatkan bahwa debitor yang kooperatif, harus menyerahkan daftar kreditor di awal persidangan. Dari situlah bisa diketahui kedudukan kreditor. Sayangnya, dia tidak menjelaskan lebih lanjut apabila ada bantahan dari termohon PKPU yang membantah kapasitasnya sebagai debitor.

Pekan lalu, persidangan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengundang polemik. Sebab, permohonan PKPU oleh kreditor baru diintroduksi dalam UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Namun yang jadi persoalan adalah prosedur pengajuan dan tata cara pemeriksaannya karena tidak dijelaskan rinci di undang-undang tersebut.

 

Adalah Chandra Hamzah, kuasa hukum dari PT Cahaya Interkontinental (CI), selaku termohon dalam perkara perdana ini, yang menilai hukum acara pengajuan permohonan PKPU tidak lengkap. Sebagai solusi, dia berpendapat, Mahkamah Agung (MA) perlu mengeluarkan Peraturan MA (Perma), untuk menjembatani persoalan ini.

 

Usulan penerbitan Perma ini bukan tanpa alasan. Sebagai perbandingan, Chandra merujuk pada penerbitan Perma No. 1/2003 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang merupakan hukum acara pelengkap dari UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: