Mencari Tafsir ‘Hakim' dan Ruang Lingkup Pengawasannya
Berita

Mencari Tafsir ‘Hakim' dan Ruang Lingkup Pengawasannya

Naskah akademis dan RUU KY menjelaskan kata ‘hakim' mencakup hakim agung. Sementara, cetak biru MK mengakui jika hakim di seluruh tingkat peradilan dan hakim konstitusi adalah obyek pengawasan KY.

Aru
Bacaan 2 Menit
Mencari Tafsir ‘Hakim' dan Ruang Lingkup Pengawasannya
Hukumonline

 

Terlepas dari pendapat para hakim agung, Gayus dan Denny, hukumonline menemukan sesuatu yang menarik dalam naskah akademis dan Rancangan Undang-Undang KY yang dibuat tahun 2002 serta cetak biru MK tahun 2004.

 

Disebutkan pada halaman 45 naskah akademis, salah satu dari lima tugas KY dakam fungsinya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah Pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung). Dalam penjelasan footnote-nya, kata ‘menjaga' dalam pasal 24 B UUD 1945 diwujudkan dalam tugas ‘pengawasan' sedang kata ‘menegakkan' diwujudkan dalam tuga ‘pendisiplinan' atau ‘menjatuhkan sanksi disiplin'.

 

Selain itu, pada halaman 58 disebutkan, Redaksional yang digunakan pasal 24 B Amandemen Ketiga UUD 1945 adalah ‘…perilaku hakim'. Kalimat hakim dalam naskah akademis harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat I, banding dan tingkat kasasi (hakim agung). Masih pada halaman yang sama, dijelaskan, tidak tepat apabila UUD 1945 ditafsirkan secara gramatikal.

 

Yang mengejutkan, ternyata naskah akademis tersebut disusun oleh mayoritas hakim agung yang saat ini menjadi pemohon judicial review. Salah satunya adalah Paulus Effendi Lotulung, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara. Paulus dalam penyusunan naskah akademis tersebut bertindak selaku penanggungjawab penelitian.

 

Saat dimintai keterangannya terkait dengan naskah akademis tersebut, Paulus dengan nada tinggi mengatakan jika naskah akademis tersebut tidak selalu bersifat mengikat. Bagi Paulus, naskah akademis bersifat teoritis, ketika dibawa ke DPR, maka proses politik di DPR adalah proses yang paling menentukan.. Saat ditanya lebih spesifik tentang definisi hakim dalam naskah tersebut, Paulus menyatakan hal itu berpulang pada MK. Menurutnya MK lebih berhak dan mempunyai otoritas untuk menentukan.

 

Menilik isi naskah akademis, dimana Paulus ikut terlibat dan dibandingkan dengan alasan permohonan judicial review, terkesan ada pemahaman yang berbeda jika tidak ingin dikatakan adanya sebuah inkonsistensi pemikiran. Untuk menegaskan, Paulus yang ditanya apakah mengingat pembuatan naskah tersebut menjawab, Saya ini Profesor yang sudah membuat ratusan naskah akademis jadi tidak ingat satu persatu, ujarnya.

 

Seorang guru besar hukum tata negara yang menjadi narasumber DPR dalam pemhahasan RUU KY menegaskan bahwa semula KY justeru dibuat terutama untuk mengawasi hakim agung. Tetapi kemudian diperluas meliputi hakim tingkat pertama dan banding. "Mungkin para hakim agung itu tidak mengetahui sejarah lahirnya Komisi Yudisial," ujar sang profesor.

 

Cetak Biru MK

Persoalan tentang kewenangan dalam hal pengawasan oleh KY ini ternyata tidak hanya ditemukan dalam naskah akademis dan RUU KY. Ternyata, wewenang pengawasan KY ini juga ditemukan dalam cetak biru MK yang dibuat 2004.

 

Jika para hakim agung dalam permohonannya berpendapat pengawasan KY terbatas pada hakim tingkat I dan banding, dan tidak untuk hakim agung serta hakim konstitusi, maka cetak biru MK menyatakan sebaliknya.

 

Pada hal 121 cetak biru MK disebutkan, Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun MK. Pada endnote-nya disebutkan hal ini mengacu atau sesuai dengan pasal 1 huruf 5 UU Komisi Yudisial.

Seperti diketahui, Jumat (10/3), 40 hakim agung telah mengajukan judicial review UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial (KY) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan, alasan utama yang dipersoalkan oleh para hakim agung adalah ruang lingkup pengawasan hakim dalam UU KY yang dianggap melanggar pasal 24 B UUD 1945.

 

Para hakim agung berpendapat, kata ‘hakim' dalam pasal 24 B UUD 1945 tidak bisa diartikan sebagai seluruh hakim. Mereka memandang ruang lingkup pengawasan hanya ditujukan kepada hakim tingkat I dan banding. Sementara, hakim agung, hakim konstitusi dan hakim Ad Hoc bukan wilayah KY.

 

Senada dengan para hakim agung, Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR berpendapat hakim agung mempunyai kekhasan tersendiri dibanding hakim PN maupun Pengadilan Tinggi (PT). Kekhasan itu menurutnya terletak pada kewibawaan formal yang melekat pada hakim agung. Pengawasan etika dan perilaku terhadap hakim agung dilakukan oleh lingkungan MA sendiri. Itu secara etika, tapi kalau pidana perlakuannya sama, tuturnya.

 

Pendapat Gayus ini dibantah oleh Denny Indrayana, Direktur Eksekutif Indonesia Court Monitoring (ICM). Denny menilai definisi hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman ini adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan. Sementara, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan di bawahnya. Artinya, ‘hakim' meliputi seluruh hakim di semua tingkatan peradilan termasuk hakim agung dan hakim konstitusi.

 

Draft RUU Komisi Yudisial

Pasal 1

(3) Hakim adalah keseluruhan hakim pada semua tingkatan dan lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam UUD 1945

UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial

Pasal 1

(5) Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Halaman Selanjutnya:
Tags: