Ahli Perundang-undangan: PERADI Seharusnya Memakai Nama Organisasi Advokat
Berita

Ahli Perundang-undangan: PERADI Seharusnya Memakai Nama Organisasi Advokat

Ada SK Menteri yang dimanipulasi dengan cara di-tipe ex. Anehnya, tidak ada satu pun pihak yang dapat menjelaskan kejanggalan tersebut.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Ahli Perundang-undangan: PERADI Seharusnya Memakai Nama Organisasi Advokat
Hukumonline

 

Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka, ujar Maria, memaparkan lebih lanjut salah satu asas tersebut.

 

Maria juga mengkritisi penggunaan nama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Menurut Maria, penggunaan nama tersebut tidak tepat karena UU No. 18 Tahun 2003 dengan tegas dan berulang-ulang menyebut nama Organisasi Advokat. Kalau sampai disebut sebanyak 37 kali, dari aspek ilmu perundang-undangan berarti itu nama jenis tertentu dan seharusnya digunakan nama itu (organisasi advokat, red.), jelasnya.

 

Kejanggalan

Sementara itu, Yan Juanda selaku saksi fakta mengungkapkan beberapa kejanggalan selama proses perumusan UU Advokat yang dirintis sejak tahun 1998 tersebut. Salah satunya adalah mengenai Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM –saat itu masih bernama Menteri Kehakiman- tentang pembentukan tim perumus UU Advokat, dimana dalam SK tersebut ada bagian yakni nama perwakilan dari IKADIN yang tertutupi oleh tipe-ex dan diganti dengan Leonard Simorangkir.

 

Anehnya, tidak ada satu pun pihak yang dapat menjelaskan kejanggalan tersebut. Menurut Yan, Sudjono yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Umum mengaku tidak tahu siapa yang melakukannya. Sementara, Leonard yang juga hadir dalam persidangan sebagai perwakilan PERADI, menegaskan bukan dia yang men-tipe ex SK tersebut. Logikanya, mana mungkin saya terlibat dalam tim perumus kalau tanpa sepengetahuan Ketua Umum (Sudjono, red.) dan Sekjen (Otto Hasibuan, red.), tegasnya.

 

Dipercepat

Kami sudah mengagendakan tanggal 30 November ini sudah pembacaan putusan atas permohonan ini, kata Ketua MK Jimly Asshiddiqie ketika akan menutup persidangan.

 

Langkah MK mempercepat pembacaan putusan atas permohonan ini dapat dikatakan di luar ‘pola normal' yang selama ini terjadi. Pasalnya, walaupun tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas waktu proses penanganan perkara di MK, umumnya suatu permohonan judicial review memakan waktu rata-rata 4 bulan sejak diajukan sampai diputuskan. Sementara, permohonan judicial review UU No. 18 Tahun 2003 yang diajukan awal September 2006 sudah akan diputus meskipun belum genap 3 bulan.

 

Terkait hal ini, Jimly memberikan alasan bahwa MK akan menghabiskan permohonan-permohonan yang diajukan sebelum Oktober 2006 untuk diputus akhir November ini. Sedangkan untuk permohonan yang masuk setelah Oktober kami akan putus antara bulan Desember dan Januari, sambungnya.

 

Proses persidangan permohonan judicial review UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diajukan oleh Sudjono Cs mulai memasuki momen-momen krusial. Senin (27/11), sidang pleno terakhir menghadirkan dua saksi fakta yakni Yan Juanda Saputra dan Djohan Djauhari serta seorang ahli dibidang ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia Maria Farida Indrati.

 

Dalam persidangan, Maria mencoba mengkaji proses perumusan UU No. 18 Tahun 2003 mulai dari urgensi pembentukan Undang-undang (UU) tersebut sampai materi terkandung di dalamnya. Dari segi urgensi, tidak dapat dipungkiri profesi advokat adalah profesi yang cukup populer belakangan ini, khususnya pasca era reformasi tahun 1998. Oleh karenanya, Maria berpendapat adalah hal yang masuk akal apabila kemudian muncul desakan dari kalangan advokat tentang perlunya UU yang mengatur khusus tentang profesi advokat. Dalam kerangka penegakkan hukum, UU Advokat memang diperlukan, tukasnya.

 

Namun begitu, Maria mengatakan materi muatan UU No. 18 Tahun 2003 sebenarnya dapat dikatakan tidak sejalan dengan materi muatan suatu UU sebagaimana dipersyaratkan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 8 menyatakan suatu UU harus berisi materi muatan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 atau yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

 

Pasal 8

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:

a.               mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1.               hak-hak asasi manusia;

2.               hak dan kewajiban warga negara;

3.               pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4.               wilayah negara dan pembagian daerah;

5.               kewarganegaraan dan kependudukan;

6.               keuangan negara.

 

Selain itu, Maria mempertanyakan apakah perumusan UU No. 18 Tahun 2003 telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004, asas-asas yang dimaksud antara lain kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Tags: