Terbentur Soal Keberadaan Komite Perbankan Syariah
RUU Perbankan Syariah

Terbentur Soal Keberadaan Komite Perbankan Syariah

Perdebatan itu mengerucut pada pendapat apakah Komite Perbankan Syariah di bawah naungan Bank Indonesia ataukah di Majelis Ulama Indonesia.

M-3
Bacaan 2 Menit
Terbentur Soal Keberadaan Komite Perbankan Syariah
Hukumonline

 

Agus menandaskan bahwa BI berniat untuk menaungi Komite Perbankan Syariah tersebut. Jika berada di bawah BI, kita tidak perlu ngantri lagi, katanya. Selain itu, diharapkan komite itu akan menjadi lebih fokus hanya pada masalah perbankan.

 

Sementara itu, Yusuf Wibisono, peneliti dari PEBS FEUI menolak keras pendapat BI tersebut. Menurutnya lebih baik jika Komite Fatwa tetap berada di bawah MUI. Pertimbangan Komite Fatwa hanyalah fiqh, bukan ekonomi atau politik, sanggahnya. Lagi pula, kata Yusuf kalau pun diletakan di bawah BI, BI masih dapat memilih tidak menurutinya jika tidak sesuai dengan kebijakan perbankan nasional.

 

Dukungan Masih Kurang

Yusuf juga mengkritik kurangnya dukungan Pemerintah dan BI terhadap keberadaan dan perkembangan perbankan syariah dalam RUU Perbankan Syariah.

 

Meski dampak RUU ini baik terhadap kepatuhan syariah, kepastian usaha, dan stabilitas sektor perbankan, tapi RUU ini secara keseluruhan minim insentif untuk pengembangan dan peningkatan daya saing perbankan syariah. Tidak terlihat upaya untuk membesarkan ukuran dan jaringan perbankan syariah, protes Yusuf.

 

RUU ini juga dianggap telah mengatur secara ekstensif jenis dan kegiatan usaha sehingga ditakutkan akan memasung kreativitas perbankan syariah. Perbankan Syariah butuh dukungan nyata seperti menggulirkan dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerimaan negara, atau mengkonversi satu saja bank BUMN konvensional menjadi bank syariah, katanya.

 

Nursanita, anggota DPR Komisi XI, mengamini kurangnya dukungan BI hanya dengan satu pernyataan: Bandingkan anggaran BI untuk mesosialisasikan Uang Palsu dengan sosialisasi Perbankan Syariah.

Lupakan dulu target bahwa RUU Perbankan Syariah akan rampung pada akhir 2007 ini. Kondisi di lapangan masih memperlihatkan bahwa pembahasan RUU Perbankan Syariah masih alot, penuh dengan perdebatan.

 

Salah satu yang menyeruak ke permukaan adalah soal keberadaan Komite Perbankan Syariah. Ada dua pendapat yang mengerucut: apakah komite tersebut akan berada di bawah Bank Indonesia ataukah tetap dalam naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

 

Pendapat terakhir memang merujuk pada kenyataan yang ada selama ini. Bahwa MUI masih menaungi Komite Fatwa. Nah, melalui Komite Fatwa ini MUI aktif mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah seputar bidang ekonomi. Tidak hanya perbankan (termasuk perbankan syariah, red) tapi juga asuransi dan pasar modal.

 

Keberadaan Komite Fatwa atau biasa disebut sebagai Komite Perbankan Syariah di dalam RUU Perbankan Syariah yang saat ini masih dalam naungan MUI, ditentang Bank Indonesia (BI). Alasannya, selama ini fatwa hasil ijtihad para ahli fiqh yang dikeluarkan Komite Fatwa masih bersifat umum dan sama sekali tidak mengikat, hanya sekedar legal opinion, sehingga sulit diterapkan dalam praktik perbankan.

 

Jika Komite Perbankan Syariah ini di bawah BI maka akan sangat efektif. Fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dapat diintepretasikan menjadi peraturan BI yang mengikat sehingga dapat diterapkan di dunia perbankan, ujar Ketua Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Agus Santoso. Pernyataan Agus ini disampaikan dalam seminar 'Menyongsong Kehadiran UU Perbankan Syariah' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (9/4).

Halaman Selanjutnya:
Tags: