Pengusaha Tolak Klausul CSR
RUU Perseroan Terbatas

Pengusaha Tolak Klausul CSR

Kalangan pebisnis memandang kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan memberatkan dunia usaha. Belum jelas berapa besarannya. Pun belum terang lembaga mana yang menjatuhkan sanksi pelanggaran.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Tolak Klausul CSR
Hukumonline

 

Ketua Kompartemen Akuntansi Manajemen Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ali Darwin sepakat dengan Noke. CSR harus beyond compliance. Prakteknya harus melebihi dari apa yang diatur oleh UU, ujarnya.

 

Ali mencontohkan tanggung jawab kepada lingkungan sudah diatur dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tanggung jawab kepada buruh juga sudah ada dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, dana sisihan laba BUMN untuk bina lingkungan (PKBL) juga sudah diatur dalam UU BUMN. Jika hanya memenuhi kewajiban dalam UU, namanya corporate responsibility, bukan CSR, sambung Ali.

 

Noke menekankan, esensi CSR bukanlah alokasi sekarung dana. Melainkan, penerapan sejumlah program nyata. Kalau hanya sebagai kewajiban setor dana, akan sarat moral hazard, sambung Noke.

 

Noke mencontohkan praktek di India. Negeri Taj Mahal ini sudah menegenal konsep CSR sejak 1988. Bahkan, perusahaan yang mengembangkan sebuah masyakat desa (community development) bakal menerima insentif pajak sesuai UU Pajak 1961. Program CSR ini kudu memperoleh persetujuan dan pengawasan dari pemerintah setempat (Pemda). Dan yang tak kalah penting, kegiatan ini harus transparan dan diaudit. CSR, sekali lagi, bukan alokasi dana, melainkan program nyata, tegas Noke.

 

Pasal 74 Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbaras

(1)   Perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan

(2)   Tanggung jawab sosial dan lingkungan melekat pada setiap perseroan

(3)   Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan

 

Sementara itu, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mas Achmad Daniri menegaskan, CSR tak bisa diwajibkan begitu saja. Seharusnya RUU ini hanya mewajibkan setiap perseroan melaporkan kegiatan CSR-nya. Bukannya mengatur kewajiban dananya.

 

 

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menganggap RUU ini mengada-ada. Ini negara yang paling aneh. Baik pemerintah dan DPR cuma bisa membuat ketentuan yang justru tidak berlaku di negara lainnya.

 

Kalau CSR diwajibkan, yah seperti pajak baru saja. Padahal CSR harusnya bersifat sukarela. Selain itu, CSR baru bisa dilakukan oleh perusahaan besar. Akibatnya, para investor kecil tentu merasa berat jika CSR diwajibkan. Baru mendirikan perusahaan saja sudah menghadapi ketentuan yang tak jelas, gerutu Sofyan panjang lebar.

 

Ketentuan ini memang belum gamblang seperti yang diharapkan Sofyan maupun Noke. Pertama, belum jelas berapa persen alokasi dari laba bersih. Kedua, jika ini kewajiban, sanksinya belum terang, merujuk UU mana. Ketiga, kalau ini kewajiban, lembaga atau departemen mana yang mengawasi dan menjatuhkan sanksi pun masih samar. Semua abu-abu. Akhirnya kita bakal akal-akalan dengan petugas pajak soal hitung-hitungan angka, sergah Sofyan yang juga duduk di Dewan Pembina Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

 

Noke bercerita, terakhir kali dia mendengar ketentuan CSR 5 persen laba bersih. Rata-rata, perusahaan menanggung 30% pajak penghasilan atas laba bersih. Jika kewajibannya 5% dari laba bersih, setara dengan pajak 4%. Jadi ada total pungutan 34% akibat diwajibkannya CSR.

 

Celakanya, ketentuan ini makin kabur apakah disisihkan dari laba bersih atau hasil penjualan. Kedua, sempat beredar besaran angka berkisar 10%, 5%, atau 1%. Kami bingung harus melaksanakan kewajiban yang belum jelas, seru Sofyan.

 

Noke mengingatkan, peraturan pelaksana pasal CSR berupa Peraturan Pemerintah (PP). Warna PP sesuai dengan rezim siapa yang berkuasa. Artinya, menurut Noke, peraturan pelaksana ini pun rawan ketidakjelasan jika terjadi perubahan kekuasaan.  

 

Penolakan juga dilontarkan oleh kalangan hubungan masyarakat (humas). Kami selalu bergelut dengan citra. Kalau kita selalu membuat peraturan yang tak jelas, citra Indonesia bakal merosot, tegas Teddy Kharsadi, pengurus Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas).

 

Bertindak sebagai moderator forum, Anis Baswedan melontarkan pertanyaan menggelitik. Oke jika CSR adalah beyond compliance. Tapi selama ini, kewajiban dalam UU saja masih banyak dilanggar. Seharusnya bagaimana? tanya Anis, yang saat ini menjabat Rektor Universitas Paramadina.

 

Wakil Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Franciscus Welirang mengingatkan, harus ada alternatif jalan keluar. Kalau memang kita menolak kewajiban CSR, kita juga harus bisa memberikan solusi, tutur Franky, yang perusahaannya menguasai pasar mie instan dan tepung terigu (Bogasari) ini.

 

Asisten Eksekutif Bogasari Soegiono Dharmatjipto menawarkan perubahan Pasal 74. Untuk ayat (1), kata ‘wajib' diganti oleh ‘dapat'. Ayat (2) tetap, lantaran CSR memang sejatinya melekat pada setiap perseroan. Ayat (3) diubah menjadi ‘Perseroan yang melakukan tanggung jawab sosial wajib melaporkan kegiatannya kepada masyarakat'.

 

Tinggal tunggu waktu

Posisi terakhir RUU PT ini pun masih belum pasti. Yang jelas, sudah kami selesaikan di tingkat Tim Perumus (Timus), ujar anggota Timus RUU PT Ade Komarudin, akhir pekan silam dalam sebuah acara di Bogor.

 

Ade menjelaskan, Timus akan melempar draft tersebut kepada Panitia Khusus (Pansus). Pansus selanjutnya menyodorkannya ke Panitia Kerja (Panja). Sebelum masuk Timus, Pansus dan Panja sudah menuntaskan berbagai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jadi, tahap Timus bisa dibilang merupakan fase menjelang akhir pembahasan.

 

Beberapa waktu sebelumnya, Ketua Pansus Akil Mochtar menerangkan target penyelesaian RUU ini sebelum penutupan masa sidang pada 20 Juli. Bisa jadi Senin malam ini merupakan detik-detik krusial Panja merampungkan draft ini. Tentu saja, untuk kejar setoran supaya bisa masuk ke dalam agenda Sidang Paripurna Selasa (17/7).

 

Hingga berita ini ditulis, sekretariat DPR baru mencantumkan agenda Paripurna Selasa pengesahan RUU Energi, RUU DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, RUU Kota dan Kabupaten, serta pembacaan alasan pengajuan interplasi kasus Lapindo.

 

Toh, setidaknya masih ada sekali Sidang Paripurna pada akhir pekan (20/7) untuk menutup masa sidang. Selanjutnya, Gedung Senayan bakal senyap lantaran masa reses. Parlemen pun ramai kembali pada 16 Agustus nanti.

 

Meski terbilang telat, menurut Mas Achmad, para pengusaha masih bisa berbuat sesuatu. Setidaknya KADIN bisa mengajukan uji materi (judicial review) Pasal 74 di hadapan Mahkamah Konstitusi.

 

Mas Achmad menekankan, tujuan CSR adalah menegakkan transparansi dan tata kelola yang bagus (good governance). Kalau dalam tahap penyusunan Pasal 74 saja kami tak dilibatkan, bagaimana bisa mencapai good governance?

 

Mas Achmad tak keberatan dengan ketentuan lainnya –soal merger dan akuisisi, pemisahan, pemilikan saham, dan hal lainnya. Kalau itu kami dilibatkan pembahasannya. Tapi ketentuan CSR tiba-tiba muncul. Ini yang tidak transparan, sambungnya.

 

Sofyan justru menyiratkan akibat yang lebih fatal, jika pewajiban CSR ini tetap digolkan. Kami memang tak bisa berbuat apa-apa menghadang pengesahannya. Tapi selanjutnya, lihat saja. Saya yakin investasi tak mau masuk. Semua karena kewajiban yang tak jelas.

Para pengusaha gerah terhadap isi Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT). Rupanya, kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) inilah yang bikin mereka keki. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 74.

 

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendak mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ini bertentangan dengan konsep CSR itu sendiri, tutur Noke Kiroyan, Ketua Badan Pembina Indonesia Business Link (IBL), dalam sebuah diskusi di Hotel Borobudur, Senin (16/7).

 

Noke menjelaskan CSR mengandung beberapa nilai. Yakni, perilaku etis, pembangunan komunitas (community development), perbuatan filantropis, untuk kepentingan lingkungan, ketenagakerjaan, serta HAM. Usaha pelestarian lingkungan, kepedulian kepada tenaga kerja, dan penegakan HAM ini harus melebihi apa yang ditentukan oleh UU, ungkap Noke.

Tags: