Merasa Dirugikan, Buruh Ajukan Uji Materi UU Kepailitan
Berita

Merasa Dirugikan, Buruh Ajukan Uji Materi UU Kepailitan

Para buruh mengajukan uji material UU Kepailitan. Beberapa pasal dinilai lebih berpihak kepada bank ketimbang pada kepentingan buruh.

Ali
Bacaan 2 Menit
Merasa Dirugikan, Buruh Ajukan Uji Materi UU Kepailitan
Hukumonline

 

Dua pasal di atas merupakan penegasan dari Pasal 138 yang menjadi buruan utama FISBI. Pasal ini justru untuk melindungi kepentingan Bank. Bukan buruh, ucap Hafidz usai persidangan yang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan. Ia mengatakan berlakunya pasal-pasal ini memposisikan buruh setingkat di bawah Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

 

Pasal 138

Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.

 

 

Hafidz juga menganggap ketentuan tersebut seakan menghapus nuansa perlindungan terhadap hak-hak buruh, baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan. Itu telah melanggar hak konstitusional kami, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, ujarnya. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, demikian bunyi pasal tersebut.

 

Buruh yang menjadi korban pasal-pasal itu, lanjut Hafidz tidaklah sedikit. Ia mencatat ada beberapa kasus besar yang akhirnya justru merugikan buruh. Misalnya, kasus PT Great River dan Sindol Pratama, ungkapnya.

 

Lalu, apabila permohonan ini dikabulkan, apakah dengan serta merta harta pailit akan sepenuhnya dimiliki buruh tanpa saingan. Hafidz pun mendalilkan Pasal 95 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal itu menyatakan, Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Sedangkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya, menurut penjelasan pasal ini, adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya.

 

Hafidz meyakini bila permohonan dikabulkan, Pasal 95 ayat (4) ini akan melenggang sendirian tanpa saingan. Selama ini, akunya, Pasal 95 ayat (4) selalu kalah dengan Pasal dalam UU Kepailitan yang sedang diuji.

 

Perbaiki Permohonan

Permohonan FISBI ini tak luput dari kritikan panel hakim konstitusi. Hakim Konstitusi Natabaya masih merasa perlu meminta hubungan antara Pasal 28D UUD'45 dengan pasal yang dimohonkan. Harus dijelaskan kaitannya, ujarnya. Bahkan, Natabaya menilai pemohon lebih menggantungkan ke Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kesannya menguji undang-undang dengan undang-undang, tambahnya.

 

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga mempertanyakan apa hak konstitusional pemohon yang dirugikan. Ia pun meminta ketegasan legal standing pemohon apakah sebagai perorangan atau mewakili serikat buruh. Implikasinya bisa berbeda, jelasnya.

 

Palguna mencontohkan perbedaan kedudukan badan hukum dan perorangan terkait hak konstitusional. Kalau badan hukum, bila mengkaitkan hak konstitusional tentang kebebasan beragama kan ngga nyambung, contohnya. Karenanya, melihat isi permohonan, Palguna menyarankan agar pemohon didampingi kuasa hukum. Kan bisa minta bantuan ke kuasa hukum yang non profit seperti LBH, sarannya.

 

Sedangkan pemohon menanggapi saran dari hakim konstitusi akan dipikirkan.

Curahan hati Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) terkait UU Kepailitan yang merugikan buruh sepertinya tidak main-main. Akhirnya, FISBI mengambil jalur konstitusional untuk membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang itu. Jalur yang diambil adalah mengajukan permohonan uji materi Pasal 29, Pasal 55, Pasal 59, dan Pasal 138 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Sekretaris Umum DPP FISBI Muhammad Hafidz menganggap ketentuan pada Pasal 29 seakan menghapus penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan hubungan industrial (PHI). Ketentuan tersebut, jelas telah merugikan bagi pekerja atau buruh yang sedang atau hendak mengajukan gugatan atas perselisihan penetapan hak-hak buruh, jelasnya di MK, Rabu (23/1).

 

Pasal 29

Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor.

 

 

Sedangkan tiga pasal terakhir (Pasal 55, Pasal 59 dan Pasal 138) merupakan pasal pamungkas yang diburu oleh FISBI untuk memperjuangkan nasib buruh.

 

Pasal 55 ayat (1)

Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

 

Pasal 59 ayat (1)

Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).

 

Halaman Selanjutnya:
Tags: