Pemerintah Menjawab Secara Taktis
Interpelasi BLBI

Pemerintah Menjawab Secara Taktis

Seperti sudah diprediksi sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya menjelaskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) secara kronologis.

Lut
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Menjawab Secara Taktis
Hukumonline

 

Saat ini, ada delapan obligor yang tengah disasar. Kedelapan obligor itu antara lain Adisaputra Januardi/Janes Januardi, Atang Latief, Ulung Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar. Mereka telah menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU, red) namun belum menyelesaikan kewajibannya. Saat ini telah dilakukan pemanggilan, pemblokiran aset yang menjadi piutang, pencegahan ke luar negeri dan eksekusi aset. Pemerintah akan terus menagih agar mereka memenuhi kewajibannya, papar Boediono.

 

Demikian pula terhadap para obligor lain, baik yang kooperatif namun belum memenuhi sisa kewajibannya maupun yang tidak kooperatif. Untuk yang pertama, mereka adalah Trijono Gondokusumo dengan kewajiban Rp2,9 triliun, Hengky Widjaja (Rp450 miliar), I Made Sudiarti (Rp650 miliar), Santoso Sumali (Rp286 miliar) serta Baringin P dan Joseph Januardy (Rp152 miliar).

 

Pemerintahan Presiden SBY menilai bahwa kasus BLBI ini tak lepas dari kelangkaan likuiditas yang sangat parah baik dalam bentuk dolar maupun rupiah yang berujung pada penutupan 16 bank. Saat itu, pemerintah Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan dengan memberikan jaminan penuh (blanket guarantee) terhadap seluruh simpanan masyarakat yang ada di bank.

 

Pada saat yang sama, Januari 1998, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengurusi tiga pekerjaan utama. Mulai dari menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset-aset yang diambil-alih pemerintah.

 

Pasca pemerintahan Soeharto, demikian penjelasan pemerintah yang diwakili Boediono kondisi belum juga stabil, malah justru semakin memburuk yang ditandai dengan makin memburuknya likuiditas bank-bank. Akibat kebijakan penjaminan, pemerintah harus menalangi sebesar Rp53,78 triliun yang memiliki suku bunga yang diindekskan terhadap inflasi dan dibayarkan dalam bentuk surat utang negara (SUN).

 

Untuk mengembalikan fungsi perbankan, lanjut Boediono pemerintahan Presiden BJ Habibie melakukan kebijakan rekapitalisasi bagi bank yang memiliki kecukupan modal antara minus 25 hingga 4 persen. Sedangkan bagi bank yang memiliki kecukupan modal di bawah minus 25 persen dilakukan penutupan. Biaya rekapitalisasi pada 1999 adalah sebesar Rp281,83 triliun, ujarnya.

 

Di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, UU Bank Indonesia diubah menjadi UU No. 23/1999. Dengan UU ini, BI tidak diperbolehkan memberikan kredit program. Dengan demikian, kata Boediono seluruh KLBI yang telah diberikan sebesar Rp9,97 triliun diubah menjadi SUN.

 

Tindakan pemerintah Presiden BJ Habibie dalam menghadapi krisis perbankan pada masa itu dilakukan dengan prinsip out of court settlement, dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), tuturnya. Kebijakan PKPS ini terdiri dari MSAA (master settlement and aquisition agreement), MRNIA (master refinancing and notes issuance agreement) dan APU (akta pengakuan utang).

 

Perjanjian MSAA ditandatangani oleh lima obligor yaitu Anthony Salim, Syamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risyad. Total program MSAA adalah Rp85,9 triliun.

 

Perjanjian MRNIA ditandatangni oleh empat obligor yaitu Usman Admadjaja (Rp12,5 triliun), Kaharudin Ongko (Rp8,3 triliun), Samadikun Hartono (Rp2,7 triliun) dan Ho Kiarto dan Ho Kianto (297,6 miliar). Totalnya mencapai Rp23,8 triliun.

 

Pada periode pemerintahan Presiden BJ Habibie, sebanyak 65 bank dalam penyehatan (BDP) dikelola BPPN dimana 10 di antaranya adalah bank beku operasi (BBO), 42 bank beku kegiatan usaha (BBKU), 13 bank take over (BTO).

 

 

Kemudian pasa masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kata Boediono rekapitalisasi antara lain dilakukan terhadap Bank Niaga dan Bank Danamon yang mencakup biaya sebesar Rp55,05 triliun. Pada masa itu juga dibentuk KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kebijakan bagi BPPN.

 

Perjanjian PKPS pada periode ini dilakukan dengan penandatanganan APU oleh 30 obligor dengan nilai jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) setelah reformulasi sebesar Rp15,2 triliun.

 

Pada periode 2000, disahkan UU No. 25/2000 tentang Propenas yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian penalti kepada obligor yang tidak kooperatif.

 

Beban negara dalam bentuk SUN yang dikeluarkan sebagai konsekuensi kebijakan-kebijakan penanganan krises ekonomi sejak pemerintahan Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid adalah sebesar Rp218,32 triliun untuk BLBI dan penjaminan serta Rp422,6 triliun untuk rekapitalisasi perbankan, tuturnya.

 

Muncul SKL

Kemudian, sejak 2001, pemerintahan Presiden Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan, terutama yang terkait dengan pengambil-alihan aset-aset obligor serta penjualan aset tersebut. Untuk melaksanakan kebijakan itu, ditetapkan TAP MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002 yang mengamanatkan pelaksanaan kebijaksanaan MSAA dan MRNIA secara konsisten sesuai dengan UU Propenas.

 

Selanjutnya, pemerintahan Presiden Megawati juga menerbitkan Inpres No.8/2002 yang memberikan jaminan kepastian hukum kepada obligor yang kooperatif dan sanksi kepada yang tidak kooperatif.

 

Berdasarkan Inpres ini, dikeluarkan SKL (surat keterangan lunas, red) yang di dalamnya antara lain berisi release and discharge, kepada lima obligor MSAA yaitu Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad, paparnya.

 

No.

Nama Obligor

Kewajiban

Pengembalian

1.

Anthony Salim

Rp52,7 triliun

Rp19,4 triliun (37%)

2.

Sjamsul Nursalim

Rp28,4 triliun

Rp4,9 triliun (17,3%)

3.

M Hasan

Rp6,2 triliun

Rp1,7 triliun (27,4%)

4.

Sudwikatmono

Rp1,9 triliun

Rp713 miliar (37,4%)

5.

Ibrahim Risjad

Rp664,1 miliar

Rp370,8 miliar (55,7%)

 

Dengan tingkat pengembalian aset seperti yang diuraikan di atas, kata Boediono pemerintah harus menanggung beban sebesar Rp57,8 triliun. Angka ini adalah selisih dari SUN yang diterbitkan oleh pemerintah dibandingkan dengan tingkat pengembalian yang diterima oleh pemerintah secara tunai. Hal ini dengan sendirinya merupakan beban yang harus ditanggung oleh APBN, tandasnya.

 

Pada 2004, masa kerja BPPN telah selesai dan ditutup. Total biaya penyehatan perbankan selama masa 1997-2004 sebesar Rp640,9 triliun. Biaya ini terbagi untuk program BLBI sebesar Rp144,5 triliun, program penjaminan sebesar Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim sebesar Rp20 triliun dan program rekapitalisasi sebesar Rp422,6 triliun.

 

Dengan penerbitan SUN untuk mendanai program-program tersebut, utang pemerintah dari dalam negeri mendadak melonjak. Posisi utang pemerintah pada periode 1997-2000 meningkat terus hingga sekitar 100 persen dari PDB. Dengan demikian beban APBN menjadi sangat berat akibat lonjakan utang yang sangat besar dalam waktu singkat, demikian Boediono.

Artinya, setiap rejim pemerintahan dengan kebijakan BLBI-nya beserta penyimpangannya dipaparkan secara detil dan lengkap. Dengan strategi seperti ini, tampaknya pemerintahan Presiden SBY ingin bermain taktis jika tidak mau disebut aman.

 

Presiden SBY ingin memaparkan sekaligus menegaskan bahwa kebijakan BLBI beserta penyimpangannya, sudah terjadi sejak sebelum krisis ekonomi 1997/1998. Dan, sekarang, di saat Presiden SBY memerintah, hanya sebagai pihak yang harus menanggung kebijakan masa lalu itu. Pemerintah sekarang ketiban cuci piring kotor, ujar juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng.

 

Ketaktisan langkah pemerintahan Presiden SBY ini bisa terbaca dalam jawaban tertulis yang disampaikan pada Sidang Paripurna DPR RI terkait interpelasi BLBI, Selasa (12/2). Pemerintah menekankan, kebijakan BLBI yang muncul sejak krisis ekonomi 1997/1998 beserta penyimpangannya itu yang harus ditangani pemerintah sekarang sejak Oktober 2004.

 

Kebijakan penanganan krisis perbankan mencakup tiga kelompok kebijakan yang berbeda, yaitu BLBI, program penjaminan dan program rekapitalisasi perbankan. Pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) mengelola aset-aset eks BPPN untuk mengoptimalkan tingkat pengembalian dengan penjualan aset PT PPA secara transparan, bersih dan akuntabel.

 

Sejak awal pemerintah bertekad untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian yang menjamin rasa keadilan, transparansi, kepastian hukum dan bebas dari intervensi kepentingan kelompok dan bersih dari korupsi, ujar Menko Perekonomian Boediono saat membacakan jawaban tertulis pemerintah. Upaya untuk mengembalikan uang negara secara maksimal terus dilakukan melalui mekanisme dan instrumen yang tersedia, tambahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: