Trik Zonder Nalar Hukum ala Petinggi Kejaksaan
Berita

Trik Zonder Nalar Hukum ala Petinggi Kejaksaan

Niatan dua petinggi Kejaksaan untuk melakukan penangkapan terhadap Artalyta Suryani dengan dalih demi rasa keadilan dan keseimbangan, di luar nalar hukum.

NNC
Bacaan 2 Menit
Trik Zonder Nalar Hukum ala Petinggi Kejaksaan
Hukumonline

Wisnu secara terpisah juga mengakui adanya pembicaraan itu. Beda mulut beda pengakuan. Lain halnya dengan pengakuan Untung, Wisnu mengaku penangkapan itu hanya sebuah wacana. "Itu spontanitas saja. Hanya pembicaraan antara kita (Untung-Wisnu, red). KPK kan sudah nangkap penerima, masa yang ngasih nggak ditangkap," cetusnya lewat saluran telpon, Jumat malam. "Itu hanya pembicaraan saja. Kami kan satu korps. Kita mau ada keadilan saja."

Penerima suap ditangkap, pemberi suap juga harus ditangkap, demi keadilan. Rasionaliasi yang masuk akal. Tapi apa landasan Kejaksaan hendak proaktif melakukan penangkapan itu? Toh, penyelidikan atau penyidikan dugaan kasus suap Jaksa Urip dilakukan oleh KPK, bukan Kejaksaan. Bagaimana korps Adhyaksa itu hendak loncat kaki melangkahi KPK menangkap si pemberi suap. Bukti permulaan apa yang sudah dipegang Kejaksaan untuk menangkap Artalyta?

Buru-buru, Wisnu meralat. "Saya kan nggak mau menangkap. Itu bukan kewenangan saya. Kewenangan melakukan upaya paksa seperti itu kan ada di Pidsus (Pidana Khusus, red). Pidsus yang wenang untuk menangkap," ujar Wisnu. Sebagai Jamintel, ujarnya, baik ia maupun Untung sebenarnya tidak punya kewenangan menangkap Artalyta. Jawaban Wisnu ini berlainan dengan rekaman percakapan antara Untung dengan Artalyta. Dari balik telpon, Untung bilang ke Artalyta, "Kamu nanti ditangkap Jekso (jaksa, red). Yang ngambil Kejaksaan." Nah loh?

Beruntung, rencana kedua petinggi itu tak kesampaian. Belum gugur niat, KPK ternyata malah memenuhi harapan dua pejabat Kejaksaan itu tanpa sempat diminta. Nah, andai saat itu Artalyta kemudian benar-benar dibekuk Kejaksaan, apa yang dijadikan bekal Kejaksaan menangkap Artalyta? Menjawab pertanyaan itu, Wisnu berkilah, "Saya nggak mau berandai-andai."

Untuk melihat betapa tak nalarnya niatan kedua petinggi Kejaksaan itu, simak pendapat dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Chairul Huda. Kepada hukumonline, Chairul pernah menjelaskan tentang wewenang penegak hukum melakukan penangkapan. Sebelum memberi keterangan sebagai ahli di sidang Praperadilan Al Amin Nur Nasution beberapa waktu lalu, Chairul mengatakan, tindakan penangkapan harus berbekal kecukupan bukti permulaan. Dan bukti permulaan itu minimal harus terdiri dari dua alat bukti. Bisa dalam bentuk apa saja, sepanjang bukti itu berhubungan langsung dengan delik yang akan dipersangkakan.

Chairul memiliki empat kriteria untuk menentukan sah tidaknya suatu penangkapan. Pertama, tujuan menangkap harus dalam rangka tindakan penyelidikan atau penyidikan. Dengan demikian, jika waktu itu Kejaksaan benar jadi menangkap Artalyta, lembaga itu harus bisa membuktikan apakah mereka melakukan penangkapan itu sudah dalam proses menyelidik atau menyidik.

Kedua, masih menurut Chairul, harus dilihat pula siapa pejabat yang melakukan penangkapan. Hanya penyelidik dan penyidik saja yang bisa menangkap. Mengacu pada KUHAP, Chairul mengatakan, yang bisa melakukan penangkapan itu adalah penyidik Polri. Nah, jika waktu itu dua petinggi Kejaksaan tersebut nekat menangkap Artalyta, akan jadi runyam segalanya.

"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan," kata Jean Marais kepada Minke -tokoh sentral- dalam Bumi Manusia, novel Pramoedya Ananta Toer. Andaikata Jean melihat petinggi Kejaksaan yang berniat menangkap Artalyta itu, barangkali ia bakal berkata, "Seorang penegak hukum terlebih petinggi, harus juga belajar bernalar hukum sejak dalam niatan, apalagi dalam tindakan."

Janggal. Tak bernalar hukum. Itulah istilah yang mendekati untuk menggambarkan fakta baru rekaman percakapan antara Artalyta Suryani dengan petinggi Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso memang mengaku menerima telpon dari Artalyta. Bukan hanya itu, ia akhirnya mengaku sempat pula memberi saran buat Ayin -panggilan Artalyta- untuk mengelak dari jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Apa yang salah (memberi saran, red)," ujar Untung di ruang kerjanya, Gedung Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Jakarta, Jum'at (13/6). Toh, lanjutnya, dia hanya hendak memberikan pendapat hukum ke Artalyta sebagai teman lama. Saat itu seingat Untung, ia hanya mengatakan, pemberian uang dari Artalyta ke Jaksa Urip itu tidak bisa dikenakan gratifikasi sebelum Urip kelewatan melapor dalam satu bulan.

Yang membikin janggal, Untung sempat menyusun rencana menangkap Artalyta. Minggu sore itu, usai menjawab panggilan telpon dari Ayin, ia sempat menelpon Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto. Untung memberi kabar buruk yang menimpa korps mereka. Tak habis akal, keduanya lalu berencana untuk menangkap Artalyta. Bersama Jamintel, Untung merencanakan untuk curi start dari Tim Penyidik KPK.

Alasannya unik. "Loh, masa yang nrima ditangkap yang memberi nggak ditangkap. Jadi buat keseimbangan, kita tangkap juga si pemberi," jelas Untung. Malah untuk rencana penangkapan itu, Untung mengaku sudah sempat mengkoordinasikan pembentukan Tim.

Halaman Selanjutnya:
Tags: