Mencari Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Konsumen
Berita

Mencari Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sebenarnya BPSK adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen lewat jalur alternatif di luar peradilan. Karena mandul, LSM di bidang konsumen yang lebih dipercaya konsumen.

IHW/M-5
Bacaan 2 Menit
Mencari Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Konsumen
Hukumonline

 

Klausula baku ini lazim kita temui dalam tiket atau tulisan di areal parkir yang bertuliskan segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan tanggung jawab pemilik kendaraan itu sendiri.

 

David sendiri bukan tidak pernah menangani kasus konsumen parkir. Beberapa kali ia menggugat pelaku usaha perparkiran swasta yang berkelit di balik klausula baku itu. Bahkan untuk satu perkara, ia sudah mengantongi putusan Mahkamah Agung yang pada intinya melarang pencantuman klausula baku tersebut. Pengusaha perparkiran pun sudah membayar ganti rugi yang ditetapkan dalam putusan MA.  

 

Meski undang-undang tegas melarang keberadaan klausula baku dan ada putusan MA yang telah menghukum pelaku usaha perparkiran swasta, David merasa heran karena pada praktiknya ternyata pelaku usaha bersangkutan masih mencantumkan klausula baku itu. Begitu juga dengan pelaku usaha perparkiran yang lain.

 

Atas keadaan ini, David mengadu ke BPSK Jakarta untuk mengawasi Pemda dan pengelola parkir swasta yang mencantumkan klausula baku. Aduan David dilayangkan pada Juli 2007. Nyatanya hingga kini belum ada tindak lanjut dari BPSK. Buktinya, hingga saat ini masih banyak pengelola parkir yang seenakhatinya masih mencantumkan klausula baku.

 

Bagi David, BPSK sudah melanggar kewajiban hukumnya sendiri dan menimbulkan kerugian bagi David untuk mengadvokasi konsumen parkir dan penelitian sengketa konsumen. Oleh karena itu, pada pertengahan September lalu, David melayangkan gugatan terhadap BPSK Jakarta ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Tuntutan David tidak macam-macam. Ia hanya meminta agar BPSK menindaklanjuti aduannya pada Juli 2007 lalu itu.

 

Minim penyelesaian

Kekecewaan terhadap BPSK tak hanya dirasakan David. Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Nasional (YPKN), Kunto Purwadi mengungkapkan hal senada. BPSK masih melempem untuk melindungi kepentingan konsumen ataupun menyelesaikan sengketa konsumen, kata Kunto, awal September lalu.

 

Begitukah? Sesuai dengan namanya, BPSK adalah salah satu lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. Untuk menjalankan kewenangannya itu, BPSK dapat menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase.

 

UU Perlindungan Konsumen tidak mendefinisikan apa itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase di bidang perlindungan konsumen. Hal itu kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan Menperindag No 350 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

 

Dalam Kepmen itu, mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Proses konsiliasi mirip dengan mediasi. Bedanya, dalam proses konsiliasi, BPSK hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa.

 

Sementara arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.

 

Melempemnya penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK, kata Kunto, terlihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Banyak konsumen yang tidak mau memakai jasa BPSK. Masalahnya cuma satu. Tingkat kepercayaan konsumen terhadap BPSK masih rendah. Hal ini karena 80-85 persen putusan BPSK tidak pro terhadap konsumen, ujarnya.

 

Dalam disertasi doktornya dari Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, hakim agung Susanti Adi Nugroho juga menyinggung terjadinya kebingungan konsumen menyelesaikan sengketa, khususnya atas kehadiran BPSK. Kebingungan terjadi karena perangkat UU Perlindungan Konsumen sendiri kurang menjabarkan proses penyelesaian sengketa lewat BPSK.

 

BPSK adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah, bertugas menangani perkara-perkara konsumen, tetapi bukan bagian dari lembaga kekuasaan kehakiman. Menurut Susanti, BPSK lebih tetap disebut peradilan semu. Meskipun demikian eksistensinya tetap penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut, tetapi juga melakukan pengawasab terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha (one-sided standard form contract) dan mendorong kepatuhan usaha terhadap UU Perlindungan Konsumen.

 

Berdasarkan riset Susanti, ada delapan kendala utama yang dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UU Perlindungan Konsumen. Pertama, kendala kelembagaan. Kedua, kendala pendanaan. Ketiga, kendala sumber daya manusia BPSK. Keempat, kendala peraturan. Kelima, kendala pembinaan dan pengawasan, dan minimnya koordinasi antaraparat penanggung jawab. Keenam, kurangnya sosialisasi dan rendahnya kesadaran hukum konsumen. Ketujuh, kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen. Terakhir, kedelapan, kurangnya respon masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK.

 

Problem eksekusi putusan

Susanti Adi Nugroho dalam disertasinya juga menyinggung problem yang muncul dalam eksekusi putusan BPSK. Berdasarkan pasal 54 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, putusan BPSK dari hasil konsilitasi, arbitrase, dan mediasi bersifat final dan mengikat. Final berarti penyelesaian sengketa mestinya sudah berakhir dan selesai. Mengikat berarti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur –suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum – dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti.

 

Berdasarkan prinsip demikian, jelas Susanti, putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Namun, coba bandingkan prinsip tersebut dengan pasal 56 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Para pihak ternyata masih bisa mengajukan ‘keberatan' ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat.

 

Selain itu, meskipun UU Perlindungan Konsumen menggunakan terminologi arbitrase, tetapi penjabarannya tidak sejelan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang  Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, malah terkesan menimbulkan kontradiksi.

 

Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke pengadilan. Menurut Susanti, dalam praktik, masih sulit memintakan penetapan eksekusi karena berbagai alasan. Pertama, putusan BPSK tidak memuat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, belum terdapat petunjuk tentang tata cara permohonan eksekusi terhadap putusan BPSK.

 

Untuk mengatasi problem itu, Mahkamah Agung sudah menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Dalam Perma ini disebutkan bahwa pada hakikatnya tidak dapat dibenarkan mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK kecuali yang memenuhi persyaratan. Pasal 2 Perma ini menegaskan bahwa yang bisa diajukan keberatan adalah terhadap putusan arbitrase BPSK. Lalu, bagaimana dengan putusan konsiliasi atau mediasi, Perma ini sama sekali tak menyinggung.

 

YLKI jadi pilihan?

Pernyataan Kunto yang menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan konsumen terhadap BPSK masih rendah, bisa jadi benar adanya. Buktinya, berdasarkan data resminya, sampai dengan Desember 2007, BPSK Jakarta baru menyelesaikan 22 kasus dari 42 kasus yang masuk.

 

Di sisi lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kerap ‘kebanjiran' aduan dari konsumen. Atas aduan ini, YLKI biasanya memfasilitasi perdamaian antara pelaku usaha dan konsumen yang bertikai. Tapi untuk beberapa aduan perkara yang sifat sengketanya substantif, seperti keluhan kenaikan tarif, sulit untuk didamaikan, jelas Sudaryatmo, anggota pengurus YLKI.

 

Pada praktiknya, dalam mendamaikan aduan konsumen ini, YLKI secara tidak langsung telah melakukan konsiliasi dan mediasi layaknya kewenangan BPSK. Betapa tidak. Dalam tahap konsiliasi ini,YLKI berusaha mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen. Tak jarang sengketa bisa selesai di tahap ini, tukasnya.

 

Pun jika ‘konsiliasi' ini gagal, YLKI masih bisa menempuh langkah berikutnya. Yaitu ‘mediasi'. Dalam tahap ini, YLKI memberikan nasihat kepada para pihak. Kalau perkaranya tidak terlalu rumit, biasanya juga berakhir di tahap mediasi ini. Tapi kalau tidak tercapai titik temu, kami akan merekomendasikannya ke BPSK. Pungkas Sudaryatmo sambil menyebutkan bahwa banyak pelaku usaha yang sudah percaya dengan keberadaan YLKI ini. 

David M.L Tobing tampaknya tak lagi kuasa menahan kesalnya terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. David, advokat yang dikenal kerap membela konsumen ini, merasa jengah dengan mandulnya BPSK Jakarta. Padahal, UU No 8. Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan tugas dan wewenang sedemikian besar kepada BPSK untuk melindungi konsumen.

 

Salah satu tugas dan kewenangan BPSK yang diatur dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen adalah melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Klausula baku adalah ketentuan atau syarat-syarat yang sudah ditetapkan terlebih dulu oleh pelaku usaha yang mengikat dan wajib diikuti oleh konsumen.

Halaman Selanjutnya:
Tags: