Delapan Pemimpin Redaksi Gugat UU Pemilu
Berita

Delapan Pemimpin Redaksi Gugat UU Pemilu

Salah satu pasal yang dipersoalkan terkait pengaturan media massa cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan iklan kampanye. Padahal prakteknya, kondisi keuangan masing-masing parpol untuk bayar iklan berbeda.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Delapan Pemimpin Redaksi Gugat UU Pemilu
Hukumonline

 

Untuk mengiklankan sesuatu di media massa memang tak lepas dari fulus. Torzatulo pun mempertanyakan hal ini. Pasal 93 ayat (3) dan penjelasannya tak menjelaskan bagaimana dengan peserta kampanye yang tidak mempunyai uang, tuturnya. Padahal, lanjutnya, iklan merupakan sumber pembiayaan kehidupan perusahaan pers. Tak sampai disitu, Torozatulo juga mempersoalkan bila ada parpol peserta pemilu yang memang tak mau beriklan.

 

Ketentuan yang mirip pasal itu yang juga diuji adalah Pasal 97. Ketentuan itu berbunyi Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.

 

Beberapa pasal lain yang ikut diuji, antara lain seputar pengaturan batas maksimum iklan kampanye Pemilu di televisi dan radio. Durasi iklan politik itu lagi-lagi dianggap merugikan hak konstitusional pemohon.

 

Gunakan UU Pers

Dalam permohonan, Torozatulo mengutip pasal-pasal dalam konstitusi yang dilanggar dengan berlakunya sejumlah pasal dalam UU Pemilu Legislatif itu. Pasal-pasal dalam konstitusi yang digunakan sebagai acuan antara lain Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan sebagainya.

 

Uniknya, Torozatulo tak hanya menggunakan UUD 1945 saja sebagai batu ujian. Ia juga memakai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain bertentangan dengan UUD 1945, ternyata juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ucapnya saat membaca petitum permohonan. 

 

Ketua Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati buru-buru meluruskan. Ia menjelaskan wewenang MK hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bukannya menguji undang-undang terhadap undang-undang yang lain. Pakar ilmu perundang-undangan ini meminta agar permohonan diperbaiki. Seperti biasanya, waktu yang diberikan untuk perbaikan selama empat belas hari kerja.

Pemilihan umum 2009 belum juga berlangsung. Namun dasar hukum Pemilu 2009 itu, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, delapan pemimpin redaksi media cetak mengajukan judicial review terhadap sejumlah pasal yang mengatur iklan kampanye dalam UU itu.

 

Para pemimpin redaksi itu adalah Tarman Azzam (Harian Terbit), Kristanto Hartadi (Sinar Harapan), Sasongko Tedjo (Suara Merdeka), Ratna Susilowati (Rakyat Merdeka), Badiri Siahaan (Media Bangsa), Marthen Selamet Susanto (Koran Jakarta), Dedy Pristiwanto (Warta Kota) serta Ilham Bintang (Tabloid Cek & Ricek).

 

Tak tanggung-tanggung, ada sekitar dua puluh pasal yang diminta untuk dibatalkan oleh MK. Kuasa Hukum pemohon Torozatulo Mendrofa mengatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, pemohon selaku pemimpin redaksi media massa merasa sangat dirugikan terhadap pasal-pasal itu. Secara langsung pasal-pasal itu merugikan hak-hak konstitusional pemohon, ujarnya di ruang sidang MK, Rabu (19/11).

 

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 93 ayat (3). Ketentuan ini menyebutkan Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye. Bila hal ini dilanggar, sejumlah sanksi siap menunggu. Sanksi terberat adalah pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

 

Torozatulo mempertanyakan mekanisme kesempatan yang sama untuk para peserta pemilu. Penjelasan Pasal 93 ayat (3) memang menyebutkan kesempatan yang sama adalah peluang yang sama untuk menggunakan kolom pada media cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran bagi semua peserta pemilu. Namun, ia menilai penjelasan ini masih kabur.

Tags: