DPR Minta Pemohon Tak Gunakan Cara Berpikir Kapitalis
Pengujian CSR

DPR Minta Pemohon Tak Gunakan Cara Berpikir Kapitalis

Pemohon dan ahli yang diajukannya berpendapat agar pengaturan CSR merujuk ke negara-negara lain. Di sana, CSR adalah sebuah kesukarelaan, bukan kewajiban.

Ali
Bacaan 2 Menit
DPR Minta Pemohon Tak Gunakan Cara Berpikir Kapitalis
Hukumonline

 

Patrialis menilai tindakan pemohon beserta ahlinya ini tidak tepat. Menurutnya, ada perbedaan sistem ekonomi yang dianut Indonesia dengan negara-negara yang dijadikan rujukan itu. Mereka itu kan negara-negara kapitalis, tegasnya. Ia mencontohkan perbedaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Mereka pakai sistem liberal kapitalis, sedangkan kita pakai asas kekeluargaan dan kebersamaaan, tambahnya. 

 

Politisi asal Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta agar semua pihak tidak hanya memahami konsep perekonomian di negara asing. Seyogyanya juga memahami sendiri nilai-nilai dasar yang dianut bangsa Indonesia, kata Patrialis. Menurutnya, nilai-nilai dasar itu sudah termaktub dalam konsitusi Indonesia, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

 

Lebih lanjut, Patrialis mengatakan pengaturan CSR ini justru untuk melindungi kepentingan rakyat. Sangat naif bila salah satu daerah kaya raya sumber daya alam, tapi masyarakatnya miskin. Mereka hanya bisa menonton, ujarnya. Sedangkan hasil sumber daya alam itu, dibawa jauh-jauh dari daerah tersebut. Ia mengaku tak rela bila sumber daya alam bangsa ini hanya dihisap oleh para kapitalis. Kita jangan tergiring pada pemikiran kapitalis, tegasnya. 

 

Ahli dari pemohon, Hikmahanto Juwana tak sependapat dengan pendapat Patrialis ini. Ia menolak bila merujuk ke negara asing sebagai bentuk keberpihakan pada sistem kapitalis. CSR sendiri saja asalnya dari luar. Kecuali kalau CSR munculnya dari Indonesia, ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini. 

 

Meski begitu, Hikmahanto sebenarnya tidak menolak pelaksanaan CSR. Namun, ia mencatat dua hal yang tak relevan, yakni pengaturan CSR dalam UU dan sifatnya yang wajib. Intinya, upaya judicial review ini bukan untuk menghilangkan CSR oleh Perseroan Terbatas. Sama sekali bukan itu, tegasnya.

 

Hikmahanto melihat ada tindakan diskriminatif dari pembentuk UU karena hanya mewajibkan CSR bagi perseroan saja. Padahal, pelaku usaha yang berbentuk badan hukum itu banyak. Ada Perum, BHP (Badan Hukum Pendidikan), atau Koperasi, ujarnya. Ia menilai CSR lebih baik diatur pada tingkat sektoral, bukan dalam UU.

 

Pengaturan CSR dalam UU PT ini, jelas Hikmahanto merupakan salah satu bentuk intervensi negara. Apakah intervensi negara dalam mewajibkan CSR ini sudah pada tempatnya? tanyanya beretorika. Padahal, menurutnya semua harusnya hanya dikembalikan kepada kesadaran Perseroan Terbatas masing-masing. Lagipula, kondisi Perseroan Terbatas yang tersebar dari Sabang sampai Merauke itu tak sama. Kalau diwajibkan, mungkin Jakarta oke lah, tapi yang lain bagaimana? tuturnya.

 

Patrialis menjelaskan pelaksanaan CSR tergantung pada kondisi perusahaan masing-masing. Jadi tidak disamaratakan, ujarnya. Ia juga mempertanyakan kerugian konstitusional pemohon. Pasalnya, dengan dilaksanakannya CSR ini, justru akan mengurangi pajak perusahaan. CSR ini kan masuk ke biaya perusahaan yang bisa mengurangi pajak mereka, pungkasnya.

Langkah sejumlah organisasi pengusaha dan tiga perusahaan menguji UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) tampaknya membuat gerah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagaimana mungkin ketentuan CSR (Corporate Social Responsibility) yang pro rakyat itu dianggap inkonstitusional? demikian salah satu argumen yang dikemukakan oleh Anggota Komisi III DPR RI Patrialis Akbar. Kehadiran Patrialis di ruang sidang MK, Selasa (3/2) adalah sebagai kuasa hukum DPR.  

 

Patrialis mengatakan pengaturan CSR dalam Pasal 74 UU PT justru merupakan amanat konstitusi. Ia menyebut Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur sistem ekonomi di Indonesia. Di sana ada asas kekeluargaan, demokrasi ekonomi dan prinsip kebersamaan, katanya. Ia menegaskan UU PT termasuk klausul CSR diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam konstitusi tersebut. 

 

Sekedar mengingatkan, Pasal 74 UU PT yang dipersoalkan ini memang menyatakan perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Biaya CSR itu dikeluarkan dari kas perseroan. Bila hal ini dilanggar, maka sejumlah sanksi siap menunggu. Pasal ini mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai mengenai CSR diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

 

Dalam permohonannya, pemohon menilai seharusnya CSR bukan kewajiban bagi perseroan, melainkan hanya bersifat sukarela. Pemohon juga menghadirkan sejumlah ahli untuk menjelaskan pengaturan dan pelaksanaan CSR di beberapa negara lain. Hasil 'study comparative' itu, menyatakan pelaksanaan CSR sebaiknya memang hanya bersifat sukarela.

Tags: