3 Catatan Migrant Care Terhadap Laporan Pemerintah ke PBB
Berita

3 Catatan Migrant Care Terhadap Laporan Pemerintah ke PBB

Pemerintah ingin memperkuat perlindungan buruh migran di masa mendatang.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pos pelayanan buruh migran di bandara. Foto: MYS
Pos pelayanan buruh migran di bandara. Foto: MYS
Pemerintah telah melaporkan pelaksanaan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya kepada Komite PBB di Jenewa Swiss pada 5-6 September 2017. Konvensi internasional itu telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012  tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.

Konvensi ini dipandang sangat penting dalam melindungi buruh migran beserta anggota keluarganya. Itu sebabnya, Pemerintah menaruh perhatian pada pekerja migran saat menyampaikan laporan ke PBB. Dirjen Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan, Maruli Apul Hasoloan, mengatakan delegasi yang hadir dalam forum internasional itu antara lain perwakilan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BNP2TKI.

Maruli menyebut delegasi telah menyampaikan kepada Komite PBB tentang kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia setelah meratifikasi konvensi. Diantaranya melakukan revisi terhadap UU No. 39 Tahun 2004  tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN). Revisi itu memperhatikan amanat yang tercantum dalam konvensi sehingga ke depan arahnya memperkuat perlindungan buruh migran. Laporan itu juga menjelaskan peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan buruh migran.

(Baca juga: Hampir Seribu DIM dalam RUU PPILN).

“Pada intinya Komite PBB puas dengan upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengimplementasikan konvensi,” kata Maruli dalam jumpa pers beberapa waktu lalu.

Pemerintah Indonesia akan kembali melaporkan implementasi konvensi kepada Komite PBB 5 tahun ke depan. Maruli berharap sebelum jangka waktu tersebut diharapkan pemerintah bisa menyusun laporan untuk disampaikan kepada Komite PBB. Oleh karenanya saat ini pemerintah mendorong penyelesaian revisi UU PPTKILN.

Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmanto, mengatakan pihaknya ingin revisi UU PPTKILN segera selesai karena ketentuan yang diatur sangat rinci dan ketat. Tujuannya untuk perbaikan dan penguatan perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya. Perlindungan itu meliputi proses perekrutan, penempatan, sampai kembali ke kampung halaman serta pengawasan.

Keluarga buruh migran akan diberi pelatihan keterampilan sesuai potensi yang ada di daerah setempat. Untuk anak buruh migran akan mendapat perhatian dalam hal pengasuhan. “Hasil revisi UU PPTKILN bukan hanya mengatur buruh migran tapi juga keluarganya,” urai Hery.

(Baca juga: Pekerja Migran Rentan Jadi Korban Perbudakan Modern).

Ketua Pusat Studi Migrant Care, Anis Hidayah, mencatat ada 74 isu rekomendasi Komite PBB terhadap Indonesia. Revisi UU PPTKILN merupakan langkah awal bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola migrasi. Komite juga menyoroti UU Migrasi yang harus selaras amanat konvensi. Walau pemerintah mengklaim revisi UU PPTKILN menekankan pada perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya, namun Anis belum dapat meyakini hal tersebut karena sampai saat ini peraturan itu belum disahkan.

“Rekomendasi yang disampaikan Komite PBB ini harus segera dilaksanakan. Sudah banyak buruh migran Indonesia yang menjadi korban (dihukum mati,-red) karena minimnya perlindungan,” usul Anis.

Anis mencatat Komite PBB berharap rekomendasi yang mereka terbitkan bisa dijalankan pemerintah Indonesia selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Misalnya, kesetaraan gender, kerja layak, dan akses terhadap keadilan. Oleh karenanya butuh peran Bappenas dan Kantor Staf Presiden untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaannya.

(Baca juga: Perlu Keseriusan Menjalankan SDGs).

Terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mencatat sedikitnya ada 3 hal yang ditekankan Komite PBB terhadap pemerintah Indonesia. Pertama, keseriusan pemerintah melakukan harmonisasi konvensi dalam hukum nasional. Proses revisi UU PPTKILN sudah berlangsung lama dan tak kunjung tuntas. Kedua, pemerintah diimbau untuk memperkuat perspektif pemberdayaan perempuan dalam segala kebijakan mengenai buruh migran. Ketiga, mengenai sikap pemerintah Indonesia dalam menangani buruh migran dari luar negeri yang datang ke Indonesia seperti tenaga kerja asing (TKA), korban perdagangan orang, dan pengungsi.

Wahyu melihat dalam laporan tersebut pemerintah tidak memuat inisiatif yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka melindungi buruh migran. Misalnya, beberapa pemerintah tingkat kabupaten dan desa telah menerbitkan peraturan yang mengacu konvensi. Dalam hal ini pemerintah lokal lebih maju ketimbang pemerintah pusat. “Menurut kami untuk saat ini inisiasi pemerintah lokal mampu melampaui pemerintah pusat. Untuk itu penting bagi pemerintah pusat dan DPR untuk segera menyelesaikan revisi UU PPTKILN” paparnya.

(Baca juga: Aspek Perlindungan Buruh Migran Harus Lebih Jelas).

Mengenai perkembangan pembahasan revisi UU PPTKILN, Wahyu berpendapat sebagian ketentuan sudah sesuai amanat konvensi. Tapi masih ada ketentuan yang masih menggunakan perspektif lama yakni bisnis, padahal arah revisi memperkuat perlindungan. Baginya, jika menggunakan cara pandang bisnis yang menjadi aktor utama yaitu pihak swasta yang merekrut calon buruh migran. Sebaliknya, jika yang dikedepankan perlindungan, tata kelola buruh migran sepenuhnya berbentuk pelayanan publik.
Tags:

Berita Terkait