Aspek Perlindungan Buruh Migran Harus Lebih Jelas
RUU PPILN:

Aspek Perlindungan Buruh Migran Harus Lebih Jelas

Sudah banyak buruh migran Indonesia yang menjadi korban.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aspek Perlindungan Buruh Migran Harus Lebih Jelas
Hukumonline
Anggota Komisi IX DPR, Amelia Anggraini, mendorong agar perlindungan terhadap buruh migran Indonesia diperkuat. Ia menilai selama ini belum ada aturan yang komprehensif melindungi hak-hak buruh migran Indonesia. Harusnya perlindungan itu diberikan mulai dari pra penempatan, masa penempatan sampai pasca penempatan.

"Faktanya, banyak calon TKI yang jadi korban penipuan, eksploitasi, dan kekerasan seksual, penempatan penampungan yang tak manusiawi, ketidakjelasan waktu penempatan, dan jerat hutang bagi pekerja yang batal berangkat," kata Amelia dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Rabu (20/01).

Masalah perlindungan sering menimpa buruh migran Indonesia saat berada di negara penempatan. Biasanya terkait regulasi yang ada di negara tersebut yang tidak mendukung perlindungan terhadap buruh migran. Akibatnya, posisi buruh migran Indonesia lemah ketika berhadapan dengan hukum di negara penempatan.

Untuk itu Amelia mengusulkan agar ketentuan yang menyangkut perlindungan terhadap buruh migran Indonesia dalam RUU PPILN harus implementatif sehingga memberikan perlindungan yang nyata.

Selain itu Amelia menilai fungsi BNP2TKI perlu didukung. Misalnya, ketika BNP2TKI melakukan mediasi saat terjadi sengketa antara buruh migran Indonesia dengan PJTKI/PPTKIS. Acapkali rekomendasi BNP2TKI diabaikan PJTKI/PPTKIS. “Perlu penguatan aturan dan sanksi tegas bagi PPTKIS/PJTKI yang mengabaikan rekomendasi BNP2TKI,” ujarnya.

Selaras itu mediator BNP2TKI harus diperkuat karena berperan penting menyelesaikan masalah buruh migran Indonesia dengan PJTKI/PPTKIS. Petugas mediator harus memiliki kompetensi dan bersertifikasi sebagai mediator untuk kasus perselisihan terkait buruh migran.

Posisi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) selaku regulator menurut Amelia mestinya memperkuat instrumen-instrumen peraturan yang menjadi acuan BNP2TKI. Hubungan kedua lembaga itu harus harmonis. Dengan begitu diharapkan buruh migran mendapat pelayanan yang mudah, murah, cepat, sederhana, transparan dan terpadu.

Terpisah, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan proses migrasi sifatnya dinamis. Migrasi merupakah hak. Pemerintah berkewajiban memfasilitasi warga negara yang menggunakan haknya atau memilih melakukan migrasi untuk bekerja di luar negeri.

Saat memaparkan pandangan pemerintah dalam rapat kerja RUU PPILN di DPR beberapa waktu lalu Hanif menyebut peran buruh migran Indonesia dalam seluruh proses migrasi harus diutamakan. Oleh karenanya perlindungan buruh migran sesuatu yang melekat dalam keseluruhan proses migrasi meliputi sebelum, selama dan sesudah bekerja. “Pemerintah mengusulkan judul RUU menjadi UU tentang Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” urainya.

Pemerintah, dikatakan Hanif, berkomitmen mengikuti norma-norma dan standar perlindungan buruh migran yang berlaku universal. Diantaranya konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Konvensi itu telah diratifikasi lewat UU No. 6 Tahun 2012. Substansi yang diatur dalam RUU PPILN harus sejalan dengan komitmen tersebut.

Peran dan fungsi pemangku kepentingan baik regulator dan pelaksana kebijakan harus diperjelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelayanan yang diberikan terhadap buruh migran tidak tumpang tindih.

Terakhir, Hanif menjelaskan pemerintah menilai agar RUU PPILN mengatur prinsip-prinsip umum sehingga fleksibel terhadap dinamika ketenagakerjaan di tingkat lokal dan internasional. Apalagi proses migrasi sifatnya dinamis. Prinsip-prinsip yang sifatnya teknis bisa diatur detail dalam peraturan pelaksana.
Tags:

Berita Terkait