3 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Resign dari Law Firm
Berita

3 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Resign dari Law Firm

Dari notifikasi hingga persiapan mental.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Muthia Zahra Feriani dan Denisha Oktaria. Foto: Istimewa
Muthia Zahra Feriani dan Denisha Oktaria. Foto: Istimewa
Dengan beragam alasan, orang dapat memutuskan untuk mengundurkan diri (resign) atau berhenti sejenak dari pekerjaan yang digelutinya. Melanjutkan studi, pindah ke kantor lain, atau beralih profesi merupakan sebagian dari banyaknya alasan orang untuk mundur. Fenomena ini tentunya terjadi pada segala profesi, termasuk juga lawyer.

Muthia Zahra Feriani, seorang sarjana hukum yang pernah berkarier di K & K Advocates, adalah satu di antaranya. Muthia memutuskan mundur dari law firm yang fokus di bidang Hak Kekayaan Intelektual itu untuk mewujudkan mimpinya merintis karier di dunia profesional sebagai pegiat industri kreatif.

Kepada hukumonline Muthia dan lawyer Melli Darsa & Co., Denisha Oktari yang kini sedang melanjutkan studi ke Georgetown University, Washington, Amerika Serikat, berbagi hal-hal apa saja yang mereka persiapkan saat hendak meninggalkan kantor.

1. Waktu Pengajuan Notifikasi
Baik Muthia maupun Denisha mengatakan bahwa pengajuan berhentinya mereka dari tempat mereka bekerja dilakukan dalam hitungan tidak kurang dari satu bulan. Hal ini karena banyak yang harus diurus dan diselesaikan sebelum mereka benar-benar meninggalkan kantor.

Denisha mengatakan ia mengajukan niat untuk kuliah ke luar negeri kepada atasannya sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun kapan pastinya ia akan berangkat, semua tergantung pada beasiswa, kata Denisha saat itu.

“Pas keterima universitas gue kasih tahu Bu Melli (Melli Darsa, Partner Pendiri Melli Darsa & Co), tapi gue bilang waktu itu bahwa gue nggak akan berangkat kalau nggak pakai beasiswa. Jadi pengajuan study leave gue itu baru setelah pengumuman LPDP (Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan) sekitar pertengahan Juni,” ucap Denisha yang kini tengah menjalankan perkuliahannya.

Belakangan baru diketahui oleh Denisha kalau ada peraturan kantor yang menyebutkan notifikasi study leave setidaknya harus diajukan setahun sebelum keberangkatan, sedangkan ia baru mendapat jawaban atas beasiswa dua bulan sebelum keberangkatan. Untungnya, ia tetap mendapatkan izin untuk berangkat.

“Bu Melli sudah janji dari awal dengan bilang bakal dukung siapapun yang mau keluar negeri. Jadi pas tahu gue mau berangkat, dia cuma ngasih selamat dan nanya kapan berangkatnya. Jadi dari tanggal keberangkatan yang gue kasih itu orang kantor sudah ngira-ngira kapan gue berangkat,” cerita Denisha melalui aplikasi chat.

2. Tumpukan Pekerjaan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, waktu notifikasi diatur sedemikian rupa guna menyelesaikan pekerjaan yang masih ditangani ini. Tanggung jawab yang masih dipikul Denisha dan Muthia tetap harus mereka selesaikan sebelum mereka pergi.

“Habis ngomong mau resign, akhirnya gue disuruh menyelesaikan semua tugas dalam satu bulan. Dan begitu kantor dapat pengganti, gue harus transfer segala hal ke pengganti gue itu. Transfer file-file supaya dipelajarin sama yang baru,” ujar Muthia.

Hal serupa juga dilakukan oleh Denisha. “Kemarin itu persiapan gue ya hand over kerjaan ke anak-anak lainnya yang satu proyek. Jadi sekitar satu sampai dua bulan menuju keberangkatan, gue sudah mulai lepas dari proyek-proyek itu dan sudah nggak dilibatkan lagi sama proyek yang lagi berjalan,” ucap Denisha.

“Gue paling dikasih kerjaan yang sifatnya lebih ke advisory dan bukan transaksi yang makan waktu banyak, jadi proyek-proyek kecil aja,” sambungnya.

Selain itu, Denisha melanjutkan, ada prosedural formal dari kantor seperti serah terima dokumen-dokumen dari proyek yang pernah ia pegang dan ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tentang pekerjaan yang akan ditinggalnya yang harus diserahkan kepada kantor.

3. Persiapan Mental
Yang tak kalah penting, Muthia meyebutkan, hal yang paling dipersiapkannya saat hendak resign adalah mental. “Sebagai orang yang baru pertama kali kerja dan alhamdulillah dapat kantor yang lingkungannya sangat menyenangkan, mental yang gonjang-ganjing sering bikin ragu. Mental takut sama hal-hal baru yg harus dihadapi setelah resign bikin jadi deg-degan,” tutur Muthia.

Belum lagi tanggapan orang soal anak hukum yang justru lebih memilih banting setir dari profesi di bidang hukum juga kekhawatiran akan pendapatan yang mungkin tak sebesar gaji di law firm tersebut, lanjutnya.

Dari kekhawatiran itu akhirnya Muthia mengaku belajar untuk menjadi seseorang yang mudah beradaptasi, menganggap angin lalu apapun komentar orang tentang keputusannya nanti, dan mulai menabung dan mengatur pemasukan serta pengeluarannya sehari-hari.

“Dan yang paling penting gue lebih sering berdoa dan menggantungkan nasib gue sepenuhnya ke Yang Maha Kuasa,” tukasnya bijak.

Punya pengalaman menghadapi situasi resign seperti Muthia dan Denisha? Yuk berbagi kisahnya di kolom tanggapan di bawah artikel.
Tags:

Berita Terkait