5 Tantangan Berperkara di Arbitrase Bagi Advokat
Berita

5 Tantangan Berperkara di Arbitrase Bagi Advokat

Bermain bersih itu sangat mungkin karena arbiter itu sudah dibayar dengan cukup oleh para pihak.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Iswahjudi Karim. Foto: RES
Iswahjudi Karim. Foto: RES
Sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa, forum arbitrase kian digemari oleh para pelaku usaha. Sejalan dengan itu, peluang pekerjaan bagi advokat yang berkaitan dengan arbitrase pun semakin banyak. Seorang advokat bisa menjadi arbiter atau pengacara yang membela kepentingan salah satu pihak. Meskipun peluangnya banyak, pekerjaan advokat di forum arbitrase bukannya mudah. Sejumlah tantangan yang tidak enteng harus dihadapi oleh advokat yang ingin berkecimpung di dunia arbitrase.

Iswahjudi A Karim, advokat senior yang sudah malang melintang di forum-forum arbitrase, berbagi pengalaman tentang tantangan-tantangan apa saja yang harus dia hadapi selama berkecimpung di dunia arbitrase, baik ketika berperan sebagai arbiter maupun pengacara salah satu pihak.

1. Penguasaan Hukum Perdata
Penguasaan hukum perdata, ditegaskan Pendiri kantor hukum KarimSyah yang akrab disapa Yudi ini, sangat penting. Spesifik, dia menyebut seorang advokat yang ingin menjadi arbiter atau pengacara salah satu pihak wajib menguasai hukum perjanjian yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan (KUHPer).

“Jadi kan saya juga sering mengajar kemana-mana. Selalu saya katakan kepada teman-teman itu (mahasiswa, red), kuasailah Buku Ketiga BW. Artinya nggak usah hafal kayak hafalan Quran, nggak usah. Tapi kita benar-benar tahu isinya. Kita bener-bener tahu kalau ada masalah hukum dimana dipecahkan di Buku Ketiga itu,” ujarnya ditemui di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.

Ironisnya, kata Yudi, fakta di lapangan menunjukkan sebagian kalangan advokat justru tidak menguasai KUHPer, khususnya Buku Ketiga. Dia melihat kebanyakan advokat ketika masuk law firm justru lebih menguasai hukum Amerika Serikat yang menganut ‘kiblat’ common law.

“Karena bekerja di law firm yang milik Amerika, jadi dia (sebagian advokat) malah justru menguasai hukum-hukum common law. Padahal, nggak mungkin itu mereka kuasai. Kenapa? Kalau mau menguasainya harus dapat pendidikan S1 hukum di common law,” papar Yudi.

2. Godaan Bermain ‘Kotor’
Secara umum, menurut Yudi, cara penyelesaian sengketa di forum arbitrase relatif bebas dari potensi suap ketimbang pengadilan. Namun, bukan berarti peluang terjadinya suap tidak ada sama sekali di arbitrase. Yudi mengaku sempat beberapa kali dihubungi para pihak yang berperkara yang awalnya hanya ingin bertemu.

“Saya rasanya beberapa kali dihubungi pihak yang berperkara untuk ketemu mereka sendiri. Nah saya bilang, kalau kita mau ketemu di luar sidang boleh saja, tetapi tidak bisa dengan anda sendiri,harus bersama-sama dengan lawan anda. Mereka kemudian tidak mau,” tuturnya.

Untuk mengatasi segala macam godaan bermain ‘kotor’, Yudi berpesan agar advokat yang ingin berkecimpung di dunia arbitrase selalu menjunjung tinggi kejujuran. Menurut dia, bermain ‘bersih’ di forum arbitrase bukan hal yang mustahil karena sebenarnya bayaran resmi yang diterima sudah cukup.

“Apakah (bermain bersih) itu bisa? Bisa! Kenapa? Karena kita sudah cukup dibayar oleh para pihak yang berperkara. Jadi apa lagi yang kita minta,” ujar Yudi seraya menegaskan bahwa menjaga reputasi juga penting bagi advokat yang berkecimpung di dunia arbitrase.

3. Bahasa Asing
Tantangan yang satu ini biasanya muncul ketika advokat berkiprah di forum arbitrase. Menurut Yudi, penguasaan bahasa asing itu mutlak penting. Yudi menyebut setidaknya dua bahasa asing yang harus dikuasai oleh advokat yang ingin berkecimpung di forum arbitase internasional, yakni bahasa Inggris dan Belanda.

“Cukup bahasa Inggris dengan baik, dan mengerti bahasa Belanda sedikit,” imbuhnya.

Kemampuan berbahasa asing, kata Yudi, dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan para pihak yang berasal dari negara lain. Alasan lainnya, karena dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan menggunakan bahasa asing, biasanya bahasa Inggris.

Untuk bahasa Belanda, menurut Yudi, tidak perlu dikuasai benar-benar. Yang penting, kata dia, setidaknya advokat mengetahui bagaimana cara membaca dokumen-dokumen berbahasa Belanda.

“Jadi, kalau kita memberikan satu kesaksian ahli di forum arbitrase di London, kita mengutip Buku Ketiga KUHPerdata Indonesia, kagak bisa kutip bahasa Indonesianya saja. Harus mau nggak mau, kutip bahasa Belanda. Paling nggak ketika kita ngomong, ngomongnya benar,” papar Yudi.

4. Berhadapan dengan Pihak nonhukum
Berkecimpung di dunia arbitrase tidak melulu berinteraksi dengan orang-orang hukum. Ada kalanya, seorang advokat harus berhadapan dengan orang-orang yang berlatarbelakang nonhukum.

“Saya itu sering jadi ketua majelis arbitrase di bidang pasar modal, dan di bidang future trading. Kalau pasar modal itu dia BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), kalau BAKTI (Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia),” Yudi memberi contoh.

Ketika di BAPMI atau BAKTI, Yudi mengaku harus berhadapan dengan ahli pasar modal atau ahli perdagangan komoditas berjangka yang tidak mengerti hukum. Menghadapi situasi ini, menurut Yudi, seorang advokat harus berwibawa dan tegas dalam memberikan pemahaman bahwa hukum bukanlah bidang keahlian mereka.

“Kalau kita kurang wibawa, suka kalah tuh sama yang dua lagi (ahli nonhukum). Dia bilang ‘lu kan ngertinya hukum, ini adalah transaksi yang kita lebih ngerti’. Kita harus mengatakan, “bener lu ngerti transaksinya, tapi hukum nggak bisa ditabrak’,” jelasnya.

5. Strategi Mengulur Waktu
Khusus ketika menjadi arbiter, disiplin waktu itu harus diutamakan. Yudi mengingatkan bahwa terkadang ada pihak-pihak yang memakai strategi mengulur waktu. Beracara di pengadilan yang seringkali tidak jelas jadwal sidang, jelas berbeda dengan beracara di arbitrase.

“Karena yang namanya pemohon dan termohon permintaannya banyak juga. Segala taktik dan strategi untuk mengulur-ngulur itu dilakukan. Tetapi nggak mempan kalau sama saya. Saya berpatokan dalam enam bulan harus diputus,” tegas Yudi.
Tags:

Berita Terkait