*Artikel ditulis oleh TM. Luthfi Yazid, Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI), anggota Kelompok Kerja Mahkamah Agung RI (Working Group) 2006-2009, alumnus University of Warwick, Inggris (Chevening Awards), serta peneliti dan pengajar di University of Gakushuin, Tokyo (2010-2011).
Pagi itu, kegiatan awal pelatihan dimulai di Minister of Justice (MOJ), International Cooperation Department (ICD) di Osaka, Jepang. Itu tahun 2008. Jarak ke tempat penyelenggaraan pelatihan cukup jauh, tapi panitianya, JICA, selalu menyediakan bus dari asrama JICA yang dikenal dengan sebutan OSIC menuju Stasiun Kereta Ibaraki. Saya duduk di kursi paling belakang bus berwarna putih dengan tulisan JICA itu bersama Pak Abdullah. Nama dan gelar lengkapnya: Dr. Abdullah, S.H., MS.
Turun dari bus, kami jalan kaki sedikit di depan sebuah mal bernama Mycal Ibaraki. Nyambung kereta dari Ibaraki Eki (eki berarti stasiun dalam Bahasa Jepang), kemudian pindah di Stasiun Osaka untuk berganti kereta lagi menuju Stasiun Fukushima—berjarak dua pemberhentian dari stasiun Osaka dan tidak lebih dari 4 menit perjalanan. Dari stasiun terakhir inilah kami jalan kaki melewati lorong menuju tempat pelatihan dengan udara yang teramat segar di musim semi.
Hampir setiap hari dalam perjalanan kami duduk di kursi belakang bus itu. Cuma berdua di kursi itu sehingga leluasa ngobrol tentang macam hal termasuk kemajuan kota-kota yang kami lalui yang begitu indah dan rapi saat spring. Memang belum saatnya bunga Sakura muncul. Karena sakura munculnya di awal April. Namun, di musim semi pun Jepang tak kalah cantiknya.
Pak Abdullah dengan ransel hitamnya tampak penuh bawaannya. Saya tanya, “Bawa apa, Pak, kok, kelihatan berat?”
“Saya bawa makanan sendiri Pak Luthfi dari penginapan, karena saya khawatir dengan makanan-makanan di Jepang ini tidak halal! Khawatir juga nggak cocok dengan lidah orang Jawa Timur seperti saya,” jawab Pak Abdullah dengan nada lirih sambil tersenyum.
Meskipun acara pelatihan sangat padat, dan sebagaimana di Jepang selalu on time, tetap saja salat tidak ditinggalkannya meskipun sering dijama’ dan dilakukan di mana pun tempat yang suci dan memungkinkan.