Minim, Hakim yang Paham Arbitrase Internasional
Utama

Minim, Hakim yang Paham Arbitrase Internasional

Pelaku usaha, terutama asing, lebih memilih forum arbitrase ketimbang pengadilan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Tujuh permohonan eksekusi putusan arbitrase asing tidak jelas nasibnya di PN Jakarta Pusat. Foto: Sgp
Tujuh permohonan eksekusi putusan arbitrase asing tidak jelas nasibnya di PN Jakarta Pusat. Foto: Sgp

Setelah dua belas tahun diterapkan, ternyata banyak kelemahan pada UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Kelemahan juga terjadi pada tataran implementasi, khususnya pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Dengan kata lain, kelemahan regulasi diperparah ketidaksiapan sumber daya manusia hakim yang menangani permohonan pembatalan putusan arbitrase asing.

 

Banyak faktor yang mendukung forum arbitrase menjadi pilihan utama para pihak. Bukan hanya karena sudah menjadi pilihan, tetapi juga hukum positif Indonesia mengakomodir mekanisme penyelesaian melalui arbitrase. Termasuk kini dipakai dalam sejumlah kontrak BUMN dengan asing. Walaupun dalam kontrak hukum Indonesia yang dipilih sebagai hukum yang berlaku, tetapi forum penyelesaiannya adalah arbitrase.

 

“Kebanyakan forum arbitrase di luar negeri,” kata Mutiara Hikmah, akademisi Universitas Indonesia yang menulis disertasi doktor tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

 

Mutiara Hikmah telah meneliti sejumlah putusan arbitrase asing yang dimohonkan pembatalannya di Indonesia. Tidak kurang dari 29 permohonan eksekusi putusan arbitrase asing didaftarkan di PN Jakarta Pusat, satu-satunya pengadilan yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menangani kasus sejenis. Tak semua permohonan itu dikabulkan. Malah, ada tujuh yang tak jelas statusnya selama penelitian Mutiara berlangsung.

 

Dengan menganalisis putusan-putusan pengadilan mengenai arbitrase asing dan wawancara sejumlah pemangku kepentingan, Hikmah menilai ada sejumlah kelemahan Undang-Undang Arbitrase. Wet ini belum efektif menjamin pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase dalam UU Arbitrase lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan Konvensi New York 1958. Indonesia adalah anggota Konvensi itu berdasarkan Keppres No 34 Tahun 1981. Invalid Arbitration Agreement, misalnya, tak terakomodir dalam UU Arbitrase Indonesia.

 

Berkaitan dengan pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, Mutiara mencatat tiga kelemahan UU Arbitrase. Pertama, kekurangjelasan definisi dari beberapa istilah yang dipakai pada Pasal 1. Misalnya, putusan arbitrase internasional, ketertiban umum, dan upaya perlawanan berupa penolakan, atau upaya perlawanan berupa pembatalan putusan. Ketidakjelasan definisi bisa berakibat fatal jika hakim mempunyai penafsiran berbeda-beda tentang konsep arbitrase internasional atau arbitrase nasional.

 

Kedua, berkaitan dengan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase tentang pendaftaran dan penyerahan putusan arbitrase oleh arbitrator atau kuasanya. Pelaksanaan pasal ini mengalami kendala secara ekonomi. “Karena arbitrator atau kuasanya dari negara lain harus mendaftarkan putusannya ke PN Jakarta Pusat,” tegas dosen Fakultas Hukum UI itu.

 

Pasal ini juga terkesan aneh karena arbitrator tak punya kepentingan untuk mendaftarkan putusannya sendiri ke pengadilan. Pada praktiknya, pemenuhan pasal ini tidak mengikat. “Praktiknya, yang memohonkan eksekusi atas putusan arbitrase adalah pihak yang menang,” ujarnya.

 

Ketiga, tidak ada aturan tegas dalam UU Arbitrase berapa lama proses pemeriksaan putusan arbitrase internasional untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Hal ini mengakibatkan ada sejumlah putusan arbitrase yang sudah didaftarkan, statusnya tidak jelas alias tanpa keterangan.

 

SDM Hakim

Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1990 sudah mencoba mengatur pelaksanaan putusan arbitase asing di Indonesia. Aturan tersebut memberi peran besar bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa apakah putusan arbitrase dapat ditolak atau dilaksanakan di Indonesia. Pada praktik, tetap saja ada masalah yang timbul.

 

Salah satu yang dihadapi, kata Mutiara Hikmah, adalah sumber daya hakim. Hakim yang memahami hukum perdata internasional, khususnya arbitrase internasional, sangat minm. Bukan hanya hakim di PN Jakarta Pusat, tetapi juga di level tertinggi di Mahkamah Agung. Mutasi dan promosi juga turut andil menyebabkan tidak ada hakim yang benar-benar menguasai aspek hukum arbitrase internasional, termasuk konvensi New York dan aturan-aturan sejenis.

 

Jika ada keinginan merevisi UU Arbitrase, Hikmah berharap agar kelemahan-kelemahan tersebut bisa ditutupi. Jangan sampai karena kelemahan hukum nasional, investor asing enggan untuk menanamkan sahamnya di Indonesia.

Tags: