Ada Kendala Frasa ‘Demi Hukum’ UU Ketenagakerjaan
Berita

Ada Kendala Frasa ‘Demi Hukum’ UU Ketenagakerjaan

Karena perbedaan pandangan antara pengusaha dan pekerja.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ada Kendala Frasa ‘Demi Hukum’ UU Ketenagakerjaan
Hukumonline
Dalam pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8) dan 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada frasa “demi hukum.” Frasa itu berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perubahan status dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Menurut Kasubdit PPHI Kemenakertrans, Reytman Aruan, frasa tersebut tersebut kerap tidak terlaksana di lapangan karena pandangan antara pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja berbeda.

“Kalau frasa 'demi hukum' dipahami oleh para pihak dengan pemahaman yang sama maka tidak akan terjadi masalah,” kata Reytman dalam diskusi yang diselenggarakan LBH Jakarta di Jakarta, Kamis, (26/3).

PKWT dikenal masyarakat dengan kerja kontrak dan outsourcing. Perselisihan sering terjadi terkait syarat-syarat mempekerjakan pekerja lewat sistem PKWT sehingga berujung pada konsekuensi sebagaimana disebut dalam frasa “demi hukum” yakni beralih jadi PKWT. Namun, Reytman melihat pelaksanaannya sulit. Guna membenahi hal itu ke depan harus dipastikan tidak ada perbedaan pemahaman terutama antara pihak terkait terhadap frasa tersebut.

Pakar perburuhan Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Andari Yurikosari, menilai terkendalanya pelaksanaan frasa “demi hukum” itu membuat pekerja --terutama yang statusnya PKWT-- sulit untuk memperjuangkan nasibnya menjadi PKWTT sekalipun telah terjadi pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Sebab, mengacu hukum yang berlaku di Indonesia, pelanggaran itu harus dibuktikan secara hukum.

Jika terjadi perselisihan ketenagakerjaan terkait status PKWTT menjadi PKWT, dikatakan Andari, dibutuhkan sebuah lembaga penyelesaian perselisihan yang bisa memutuskan. “Memang benturannya di situ, tapi memang harus ditempuh jalur hukum ketika perselisihan yang terjadi tidak bisa diselesaikan lewat mediasi,” ujarnya.

Andari melihat ada berbagai masalah yang muncul terkait frasa “demi hukum” itu. Misalnya, frasa tersebut mengatur status dan hubungan hukum yang serta merta berubah karena tidak dipenuhinya syarat tertentu. Sehingga memerlukan kesepakatan para pihak akan perubahan itu.

Frasa “demi hukum” tidak disertai dengan sanksi pidana bila itu tidak dilaksanakan oleh para pihak. Akibatnya, frasa itu kerap menimbulkan konflik, argumentasi dan perselisihan hubungan industrial. Apalagi tidak ada penjelasan yang memadai dalam UU Ketenagakerjaan tentang frasa tersebut.

Hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) Jakarta, Saut Manalu, menilai selama ini masalah ketenagakerjaan tidak pernah diselesaikan secara serius, tak terkecuali menyangkut PKWT dan outsourcing. Oleh karena itu ia melihat selama ini buruh selalu mendesak pemerintah untuk aktif menegakan hukum ketenagakerjaan. Menurutnya, pemerintah menjawab tuntutan itu dengan menerbitkan regulasi dan membentuk pengawas ketenagakerjaan.

Namun, Saut mengingatkan pengawas ketenagakerjaan tidak punya kekuatan untuk memaksa para pihak melaksanakan frasa “demi hukum” sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan. Menurutnya, frasa itu mengubah suatu hal pada posisi yang seharusnya. Tapi, bila ada pihak yang keberatan maka pengawas ketenagakerjaan tidak bisa memaksa agar frasa “demi hukum” itu dijalankan. “Dibutuhkan putusan pengadilan,” tukasnya.

Menanggapi itu Koordinator Geber BUMN, Achmad Ismail, menilai masalah PKWT dan outsourcing yang terjadi adalah pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja outsourcing di BUMN mengerjakan pekerjaan inti yang harusnya dikerjakan pekerja PKWTT. Mengingat itu sifatnya pelanggaran maka frasa “demi hukum” sudah seharusnya bisa langsung dieksekusi pemerintah. “Itu bisa dilakukan dengan menerbitkan regulasi,” tandasnya.

Atas dasar tersebut pria yang disapa Ais itu menolak pernyataan yang menyebut masalah PKWT dan outsourcing yang selama ini terjadi, terutama di BUMN hanya perselisihan ketenagakerjaan. Sehingga harus mengikuti proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Menurutnya, masalah yang terjadi adalah pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Tags: