Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor
Berita

Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor

Pengujian Peraturan Menteri ESDM No. 23 Tahun 2018 telah diputuskan Mahkamah Agung.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Selain itu, berdasarkan Putusan MK No.36/PUU-X/2012, wilayah kerja (WK) migas hanya boleh dikelola BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini di mana sesuai amanat Pasal 33 UDD 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi sumbar daya alam milik negara. Khusus untuk pengelolaan, penguasaan negara dijalankan pemerintah melalui BUMN. “Jika pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK migas yang KKS-nya berakhir kepada BUMN,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara melalui keterangan tertulisnya kepada hukumonline, (23/7).

Tidak hanya itu, Marwan juga menyinggung Permen ESDM No.23 Tahun 2018 yang menurutnya bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.

Selanjutnya Pasal 4 UU Energi menyatakan, Dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Marwan menilai penerbitan Permen ESDM No. 23 Tahun 2018, menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKKS existing untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK Migas. Mengutip keterangan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Marwan menyebutkan produksi Migas di Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan ini jika dikalkulasikan 2026, kemungkinan tinggal tersisa 2 TCF.

Marwan mensimulasikan, jika asumsi cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US 24 – 30 miliar atau sekitar Rp 336 – 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$.  Biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas berkisar antara 10% hingga 15% nilai cadangan. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar.

Menurut Marwan, KESDM selolah membiarkan kontrator asing menguasai 70% saham Blok Corridor (30% akan dikuasai Pertamina) dengan hanya cukup membayar 70% x US 250 juta yang merupakan signature bonus, atau sekitar US 175 juta. “Enak benar nih kontraktor asing, dapat durian runtuh. Kenapa pula KESDM membiarkan kontraktor-kontraktor asing tersebut membayar aset negara sangat murah? Saya yakin KESDM bukan tidak faham tentang praktek-praktek yang berlaku umum dalam akuisisi blok-blok operasional di seluruh dunia,” ungkap Marwan.

Ia mengingatkan kembali proses divestasi saham Freeport di mana Pemerintah Indonesia harus membayar US$ 3,85 miliar kepada Freeport McMorant pada 2018 untuk mengakuisisi 42% saham. Pembayaran tersebut terutama didasarkan pada cadangan emas dan tembaga yang masih sangat besar dan diakui oleh pemerintah sesuai klaim Freeport McMoran hingga 2041. Marwan membandingan cadangan yang notabene milik bangsa sendiri, bersedia dibayar  sangat mahal oleh pemerintah agar dapat dikelola oleh BUMN.

“Lantas, mengapa untuk Blok Corrridor, yang tidak memiliki aspek dan kisruh kontrak yang rumit seperti pada kontrak Freeport, tidak dapat dikuasai dengan mudah oleh BUMN bangsa sendiri, malah anda (Pemerintah RI) perpanjang untuk dikelola asing dengan harga sangat murah pula?,” ujar Marwan.

Tags:

Berita Terkait