Polemik Peninjauan Kembali (PK) dalam draft RUU Hukum Acara Perdata perlu mendapat perhatian pembentuk undang-undang (law maker) secara serius agar tercapai kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus persoalan ini dengan membatasi PK dalam perkara perdata hanya dapat dilakukan satu kali.
Dekan FH Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengingatkan pengaturan peninjauan kembali (PK) dalam perkara perdata agar dibatasi maksimal satu kali. Pembatasan tersebut selain dalam rangka memberikan kepastian hukum juga amanat Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pembatasan peninjauan kembali (PK) memiliki aspek jaminan kepastian hukum, di samping juga MK telah memutus soal tersebut. Namanya juga PK sebagai upaya hukum terakhir. Jangan ada upaya hukum terakhir diatas upaya hukum terakhir,” ujar Halim di Jakarta, Rabu (22/6) dalam keterangan pers.
Baca Juga:
- ILUNI FHUI: RUU Hukum Acara Perdata Harus Akomodir Tiga Aspek
- Pemanfaatan Teknologi dalam Hukum Acara Perdata Sebuah Keniscayaan
- RUU Hukum Acara Perdata Perlu Mengadopsi Sistem Peradilan Elektronik
Wakil Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Wilayah Barat ini menyebutkan Putusan MK Nomor 16/PUU-VIII/2010, bertanggal 15 Desember 2010 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman secara tegas membatasi PK di luar perkara pidana.
MK beralasan, ketika PK dilakukan lebih dari satu kali maka akan mengakibatkan perkara tidak berkesudahan. “MK berpendapat jika PK dilakukan lebih dari satu kali maka bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) dan merugikan pihak yang mencari keadilan,” ungkap Halim.
Halim menyebutkan perubahan KUHAPerdata menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk menyempurnakan norma dalam UU KUHAPerdata. Menurut dia, perubahan KUHAPerdata harus menjadi kesempatan bagi negara untuk memberikan jaminan kepastian hukum.