Akademisi STHI Jentera Beberkan Beragam Persoalan Hukum Pasca Reformasi
Terbaru

Akademisi STHI Jentera Beberkan Beragam Persoalan Hukum Pasca Reformasi

Masih ada persoalan antara lain soal distribusi keadilan (delivery of justice); pembangunanisme; dan autocratic legalism.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti.
Pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti.

Reformasi yang bergulir tahun 1998 membawa harapan bagi pengakan demokrasi, hukum, dan HAM di Indonesia. Walau reformasi telah membawa sejumlah perubahan, tapi masih ada beberapa hal yang dirasa masih perlu terus dilakukan perbaikan, salah satunya bidang hukum. Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mencatat setidaknya ada 4 harapan atau “imajinasi” yang muncul ketika reformasi.

Pertama, perbaikan terhadap Mahkamah Agung. Bivitri memberikan contoh sebelum reformasi masyarakat sulit mengakses putusan MA. Sekalipun diberikan akses misalnya dalam rangka penelitian, mencari putusan yang dimaksud juga sulit karena berkasnya menumpuk. Sekarang MA mulai berbenah, sehingga putusan mudah diakses secara daring. Tapi persoalannya bagaimana dengan kualitas putusan yang dirasa semakin jauh dari harapan untuk mendistribusikan keadilan?

“Perbaikan di lembaga MA itu tidak kemudian menghadirkan delivery of justice,” kata Bivitri dalam kegtiatan seminar pembukaan Kalabahu 43 LBH Jakarta, Senin (19/9/2022).

Kedua, dibentuknya MK sebagai buah dari reformasi membawa harapan baru tegaknya konstitusi. Bivitri menyebut masyarakat sipil menaruh harapan besar terhadap MK ketika awal berdiri. Tapi sekarang harapan itu mulai turun setelah beberapa kali putusan yang diterbitkan MK, seperti putusan terhadap pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Putusan MK menyebut UU Cipta Kerja inkonstitusional tapi bersyarat, itu membingungkan,” ujarnya.

Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja itu, menurut Bivitri menimbulkan beragam pandangan. Bahkan ketika di persidangan PTUN, masyarakat sipil yang berperkara harus beradu argumen dengan hakim karena perbedaan memaknai putusan MK itu.

Ketiga, setelah reformasi muncul asumsi pemerintah dan DPR membuat UU yang mendorong perbaikan hukum. Tapi faktanya pemerintah dan DPR melakukan hal yang sebaliknya, sebagaimana dapat dilihat dari pembentukan sejumlah UU seperti revisi UU KPK. “Pemerintah dan DPR ‘membunuh’ KPK,” tegas Bivitri.

Keempat, masyarakat sipil dianggap baik-baik saja setelah reformasi. Bivitri mengatakan pemerintah saat ini menerapkan kebijakan new developmentalism. Kebijakan itu pernah dilakukan pada masa pemerintahan orde baru yakni pembangunanisme. Kebijakan itu bisa dilihat dari berbagai regulasi yang diterbitkan, seperti UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, revisi UU KPK, dan UU Minerba.

Pembangunan yang dilakukan sifatnya hanya permukaan. Kemajuan yang dicapai pemerintah hanya mengacu angka yang tercantum dalam statistik pembangunan seperti GDP, infrastruktur dan lainnya. Misalnya GDP dan infrastruktur tinggi, tapi mengabaikan persoalan stunting dan kekurangan gizi. “Kebijakan pembangunanisme ini mengulang kebijakan yang pernah dilakukan era Soeharto,” imbuh Bivitri.

Menurut Bivitri, tekanan yang dihadapi masyarakat sipil setelah reformasi semakin beragam. Tak hanya serangan fisik, tapi juga digital. Ada pula tekanan hukum, seperti pidana melalui UU ITE dan lainnya juga administratif seperti mempersulit masyarakat sipil mendirikan organisasi dan kesulitan lembaga donor serta peneliti asing untuk masuk ke Indonesia.

Terakhir Bivitri memaparkan yang berkembang setelah reformasi yakni autocratic legalism. Intinya, semua hal dianggap benar selama masuk menjadi produk hukum. Misalnya soal kasus rangkap jabatan Rektor UI, yang dilakukan pemerintah, bukan mengganti rector, tapi mengubah peraturannya yakni PP Statuta UI. “Jadi yang salah pun seolah benar karena sudah dituangkan dalam peraturan,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait