Akuntabilitas Publik
Tajuk

Akuntabilitas Publik

Akuntabilitas publik mensyaratkan bahwa kebijakan administratif, etis, dan keuangan dari pejabat atau instansi publik harus transparan untuk diperiksa, disoroti, bahkan ditantang apakah manfaatnya memang untuk kepentingan umum. Akuntabilitas publik karenanya menjadi poros utama dari suatu pemerintahan demokratis dengan sistem perwakilan.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Akuntabilitas Publik
Hukumonline

Rezim yang membentengi kekuasaannya dengan mengabaikan akuntabilitas publik, melecehkan kehendak rakyat yang diemban parlemen dan menentang peradilan yang memanggul supremasi hukum, akan secepatnya berkembang menjadi rezim yang tiran dan otoriter. Penguasa yang menjalankan manajemen urusan publik harus bisa menjawab pertanyaan rakyat bahwa kebijakannya bergaris lurus dengan kehendak rakyat, melalui kontraknya dengan wakil-wakil rakyat sesuai standar kompetensi yang secara umum terukur. Dalam soal keuangan, pejabat publik harus bisa menjawab untuk apa uang negara dibelanjakan dan bahwa pengeluaran tersebut memperoleh manfaat terbaik untuk rakyat berdasarkan prosedur dan kebijakan serta tujuan yang terprogram dengan baik.

Pemikiran-pemikiran tersebut menimbulkan teori administrasi negara bahwa birokrasi harus diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip-prinsip fungsional dan pencapaian tujuan yang jelas, dengan sistem jenjang yang juga lugas. Semuanya bermuara ke pencapaian akuntabilitas publik tadi. Ide-ide ini dianut habis oleh kaum Weberian yang berargumentasi bahwa birokrasi modern dan rasional dipertentangkan secara tegas dengan birokrasi tradional dan patrimonial. Dalam birokrasi modern, harus jelas adanya hierarkhi dalam urusan manajerial pemerintahan. Pengangkatan pejabat dan prosedur pemerintahan harus impersonal, kearsipan dan format administrasi pemerintahan harus baku, dan keahlian fungsional harus selalu diutamakan. Prinsip-prinsip ini dipercaya bisa meraih efisiensi dan mencegah korupsi.

Kritik keras kepada teori-teori Max Weber ini utamanya datang dari mereka yang melihat bahwa birokrasi ala Weber menjadikannya terlalu dominan, terperangkap dalam usaha memaksimalkan budjet semata, serta menjadikannya tidak kompetitif terhadap sektor swasta karena akhirnya kekakuannya menjadikannya kurang efisien. Kritik lain, sistem ini tidak cocok untuk masyarakat yang sedang dilanda badai perubahan atau situasi tidak pasti yang berkepanjangan.

Pada waktu kritik tajam ke arah kompetensi pemerintahan Gus Dur banyak muncul, orang kembali berfikir bahwa pemerintahan birokratik Orde Baru mungkin lebih efektif dan efisien. Orang lantas berfikir bahwa Orde Baru, minus penindasan HAM, tirani, otoritarian, militerisme, pemerasan daerah, personifikasi Soeharto dan kroninya, serta praktek KKN, adalah suatu model yang mungkin diinspirasikan oleh Weber. Terlalu banyak minus tadi menjadikan konsep Weber pada Orde Baru menjadi compang camping. Tidak ada akuntabilitas publik, tidak ada efisiensi, tidak ada perwujudan dari masyarakat demokratis melalui sistem perwakilan. Yang muncul hanya wajah seram suatu rezim yang tiran. Pemerintahan Gus Dur yang terpilih secara demokratis tidak secara cepat dan nyata melahirkan budaya akuntabilitas publik dan supremasi hukum. Sementara disintegritasi sosial dan merendahnya perikemanusiaan masih berlanjut.

Beban warisan dosa Orde Baru yang begitu menghimpit dan berpotensi memecah belah bangsa, birokrasi yang dipreteli oleh politisisasi, gegap gempitanya euforia demokrasi (yang porsi terbesarnya bertitik berat pada kebebasan menyatakan pendapat) dan tertunda-tundanya pemulihan krisis ekonomi menjadikan makin sulitnya tugas pemerintahan Gus Dur. Belum lagi tantangan ke depan sebagai anggota masyarakat global begitu banyak menghadang.

Apapun pilihan kita, betapapun kita harus jatuh bangun belajar berdemokrasi yang mungkin akan ditandai oleh berjatuhannya martir, nampaknya akuntabilitas publik harus mulai dan tetap ditegakkan dan terus menerus ditularkan mulai dari kelompok terkecil dan terbawah masyarakat sampai elite kekuasaan dan politik.

Pemikiran Weberian dalam sosoknya yang murni ditambah dengan kearifan dalam menentukan prioritas kepentingan publik serta fleksibilitas menghadapi tantangan masa depan masyarakat global, ditambah lagi sedikit dengan kesantunan berpolitik dan usaha mempertebal kemanusiaan kita, rasanya masih dapat menyelamatkan bangsa ini.

(Inspirasi dari Brendan O'Leary, The Bloomsbury Guide to Human Thought)

Tags: