Amandemen UUD 1945 Bisa Jadi Gerbang Jihad Konstitusi
Berita

Amandemen UUD 1945 Bisa Jadi Gerbang Jihad Konstitusi

Amandemen merupakan proses politik yang tidak pasti.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: appszoom.com
Foto ilustrasi: appszoom.com
Wacana dilakukannya amandemen atau revisi UUD 1945 kembali terdengar. Badan Kajian MPR tengah melakukan kajian yang hasilnya akan disampaikan kepada Ketua MPR, apakah perlu dilakukan revisi UUD 1945 atau tidak. Menurut dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Fitra Arsil, jika amandemen UUD 1945 benar dilakukan maka hal itu merupakan jalan yang baik bagi dijalankannya jihad konstitusi.

“Yang paling ideal itu ya amandemen,” kata Fitra di FHUI, Selasa (24/5).

Namun, ia mengingatkan bahwa banyak cara untuk mengubah UUD 1945. Menurutnya, yang paling ideal itu formal amandemen, yakni mengubah UUD 1945 melalui cara yang dmuat oleh Pasal 37 UUD 1945. Dia mengatakan, membuat amandemen UUD 1945 bukan pekerjaan yang mudah. Setidaknya, ada tiga macam cara yang bisa dilakukan. Selain formal amandemen, ada judicial interpretation. Judicial interpretation bisa jadi mengubah praktik ketatanegaraan.

“Tapi bukan hasil lewat formal amandemen, atau bisa juga semacam kudeta. Artinya itu terbuka,” papar Fitra.

Fitra mengatakan, jalan amandemen tidak semudah dilakukannya judicial interpretation karena ada mekanisme yang harus dipenuhi untuk dilakukannya amademen. Tetapi, ia berpendapat formal amandemen merupakan cara yang paling ideal karena lebih clear.

“Tapi memang yang normal yang kita lihat itu ada formal amandemen, judicial interpretation, dan konvensi. Kalau dia jihad konstitusi melalui judicial interpretation, ya boleh-boleh saja. Amandemen itu lebih clear. Karena kan kalau judicial interpretation itu kan di MK. Dalam banyak kondisi formal amademen itu tidak bisa dilakukan karena banyak mekanisme yang harus diikuti,” jelasnya.

Senada dengan Fitra, Anggota Badan Pengkajian MPR Syamsul Bahri mengakui bila mengikuti perkembangan masyarakat, sebaiknya UUD 1945 direvisi melalui cara amandemen. Namun yang perlu diperhatikan adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 UUD 1945. Syamsul juga tak menampik bahwa cara cepat yang bisa dilakukan adalah melalui Judical Review.

“Kita harus kembali ke Pasal 37 UUD 1945, harus jelas pasal mana yang harus diubah dan harus disetuju oleh dua pertiga anggota DPR, kemudian diajukan ke MPR yang sebelumnya ada kajian dari Mahkamah Konstitusi. Yang lebih cepat memang melalui Judicial review,” ujar Syamsul.

Pendapat berbeda datang dari Bivitri Susanti, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Dia berpendapat, lebih bagus revisi UUD 1945 dilakukan melalui Judicial Review atau pengujian undang-undang. Menurutnya, amandemen merupakan proses politik yang tidak pasti. Selain itu, ia melihat kondisi partai politik sekarang ini sangat jauh dari aspirasi rakyat.

“Kalau menurut saya lebih bagus pengujian undang-undang. Mengapa, karena satu amandemen kan merupakan proses politik yang tidak pasti. Ini saja kita berdebat mau atau tidak amandemen dan arahnya kemana. Ketidakpastian itu juga ketika sudah masuk subtansi. Saya kira akan sangat sulit bagi Muhammadiyah untuk mengarahkan karena parpol agak jauh dari aspirasi rakyat,” jelas Bivitri.

Kemudian, lanjut Bivitri, apabila Muhammadiyah beralih ke amandemen maka hal tersebut merupakan tatanan yang terlalu tinggi atas filosofis apabila dihubungkan ke rakyat. Bivitri mengaku respek dengan apa yang dilakukan Muhammadiyah karena organisasi itu mengecek berbagai macam produk perundang-undangan yang tidak sesuai dengan soal-soal kesejahteraan rakyat yang tertera dalam Pasal 33 UUD 1945.

“Jadi konkrit gitu, praktiknya itu dicek. Menurut saya apa yang dilakukan Muhammadiyah melalui pengujian undang-undang itu adalah upaya untuk menerjemahkan kedaulatan rakyat itu. Saya kira Judicial Review lebih efektif dan nyambung ke kita,” tuturnya.

Untuk diketahui awal muda kemunculan Jihad Konstitusi, dipelopori oleh ormas Persyarikatan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin. Muhammadiyah berinisatif terlibat di garda terdepan dalam hal mengkritisi dan menggugat sejumlah undang-undang yang berpihak pada liberalisme ekonomi, neokolonialisme, oligarki, dan kepentingan asing, serta merugikan masyarakat kecil, baik secara langsung maupun tidak. Sehingga, Muhammadiyah dengan menggunakan istilah jihad konstitusi melakukan judicial review terhadap suatu produk perundangan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait