Anggota DJSN Sebut Peraturan JHT Tabrak Undang-Undang
Berita

Anggota DJSN Sebut Peraturan JHT Tabrak Undang-Undang

Agar manfaat program JHT bisa diberikan kepada peserta yang sudah mencapai usia pensiun atau masa kepesertaan tertentu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja. Foto Ilustrasi: RES
Demo buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja. Foto Ilustrasi: RES
Peraturan acapkali cepat berubah karena kepentingan sesaat, atau karena ada perkembangan penting. Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.

Diundangkan pada 30 Juni 2015, PP JHT ini hanya berusia beberapa pekan. Pada 12 Agustus tahun yang sama lahir PP No. 60 Tahun 2015, sebagai revisi terhadap PP terdahulu. PP Perubahan hanya menambah satu pasal. Pasal 26 mengatur tata cara pembayaran JHT. Disebutkan bahwa manfaat JHT wajib dibayar kepada peserta jika peserta mencapai usia pensiun. Dalam penjelasannya yang dimaksud “mencapai usia pensiun” termasuk peserta yang berhenti bekerja.

PP tentang JHT itu ditindaklanjuti Menteri Ketenagakerjaan dengan menerbitkan Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Permenaker itu mengatur manfaat JHT bisa diberikan kepada peserta yang berhenti bekerja seperti mengundurkan diri, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selamanya.

Anggota DJSN, Zaenal Abidin, mengatakan regulasi yang mengatur tentang JHT tidak sesuai dengan makna dan filosofi serta tujuan JHT bagi pekerja. DJSN melihat terjadi disharmoni peraturan pelaksana JHT yakni PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015 dengan regulasi yang ada di atasnya.

Disharmoni itu mengakibatkan keberlanjutan program JHT terancam, terjadi pemupukan dana jangka panjang oleh BPJS Ketenagakerjaan, sehingga hasil investasi tidak akan maksimal. “Ada indikasi penurunan dana JHT akibat ada yang mengajukan klaim JHT karena PHK,” katanya dalam jumpa pers di kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Salemba di Jakarta, Rabu (07/9).

Anggota DJSN lainnya, Taufik Hidayat, mengatakan manfaat program JHT mestinya baru bisa diterima peserta ketika masuk usia pensiun. Adanya ketentuan yang membolehkan peserta mengambil manfaat JHT saat berhenti bekerja membuat penarikan dana JHT cukup besar.

Jika penarikan dana JHT itu dilakukan dalam waktu bersamaan, Taufik khawatir akan berdampak buruk terhadap stabilitas keuangan nasional baik di pasar uang dan modal. “BPJS Ketenagakerjaan termasuk pemain terbesar di pasar uang dan modal, ini harus diperhatikan,” ujarnya.

Taufik mengatakan DJSN mengusulkan agar dua regulasi JHT yang disharmoni itu direvisi. Terutama ketentuan yang menyangkut pembayaran manfaat JHT kepada peserta. Ketentuan itu perlu diubah sehingga ada syarat yang ditetapkan bagi peserta yang mau mengambil manfaat JHT seperti masa kepesertaan minimal 10 tahun. Bisa juga BPJS Ketenagakerjaan menyediakan dana pinjaman bagi peserta, dengan tujuan agar manfaat JHT tidak diambil sebelum waktunya.

Mantan Ketua DJSN, Rachmat Sentika, mengatakan DJSN sudah melayangkan surat kepada Presiden RI dan Menteri Ketenagakerjaan yang intinya mengingatkan ada regulasi JHT yang melanggar UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jika Pemerintah menginginkan program JHT sesuai peraturan pelaksana yang sudah diterbitkan, mestinya UU terkait harus direvisi.

Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJS Ketenagakerjaan, Sumarjono, berharap Pemerintah segera melakukan harmonisasi terhadap peraturan terkait program jaminan sosial khususnya JHT. Menurutnya, jika peraturan teknis tidak sinkron dengan Undang-Undang, maka BPJS Ketenagakerjaan selaku penyelenggara program dan peserta akan kebingungan.

Sumarjono menginginkan agar syarat yang ditetapkan untuk mengambil manfaat JHT diantaranya masa kepesertaan. “Misalnya, manfaat JHT bisa diambil jika peserta mencapai usia pensiun atau kepesertaan sekian tahun,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait