Anggota DPR Ini Angkat Isu Jaminan Sosial
Berita

Anggota DPR Ini Angkat Isu Jaminan Sosial

Beberapa peraturan BPJS perlu diperbaiki. Pemerintah didorong lebih serius jalankan amanat UU SJSN dan UU BPJS.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Peringatan Hari Buruh 1 Mei sudah lewat. Ada sejumlah isu yang diangkat dalam demo kalangan pekerja di beberapa daerah. Salah satu isu yang mendapat perhatian mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) UU BPJS, Rieke Diah Pitaloka, adalah jaminan sosial. Bergulirnya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak 2014 membawa arah baru kebijakan jaminan sosial di Indonesia.

Menurut anggota Komisi VI DPR itu ada banyak masalah yang harus dibenahi dalam implementasi program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS. Regulasi mengenai jaminan sosial yang ada saat ini perlu direvisi. Rieke menghitung sedikitnya ada 4 regulasi untuk masing-masing BPJS yang penting diperbaharui. Dari total 8 regulasi itu sebagian besar menyentuh masalah teknis. (Baca juga: 8 Masalah Penghambat Jaminan Kesehatan Nasional).

Untuk BPJS Kesehatan, pertama, Rieke mendorong pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua  Atas Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres itu ketentuan batas upah yang digunakan sebagai penghitungan dasar besaran iuran perlu diubah jadi lebih besar sehingga iuran yang dihimpun optimal. Kemudian, tinjau kembali penghentian pelayanan kepada peserta yang telat bayar iuran sebulan. Penghentian pelayanan harus melalui proses teguran dan pemeriksaan yang patut. Berikutnya, permudah akses pendaftaran bagi buruh yang belum didaftarkan dan korban PHK. Berdasarkan catatan Hukumonline sebenarnya sudah ada Perubahan Ketiga atas Perpres No. 12 Tahun 2013 yakni Perpres No. 28 Tahun 2016.

Kedua, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 4 Tahun 2017 yang mengatur Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan (Perubahan Kedua atas Permenkes No. 52 Tahun 2016). Rieke berpendapat Permenkes itu tidak mempertimbangkan kesulitan pasien mendapatkan kamar perawatan karena rumah sakit sering mengklaim kamar kamar terhuni penuh. Selain itu, peserta yang naik kelas perawatan dibebankan biaya berupa membayar semua selisih biaya perawatan sehingga biaya yang dibayar lebih mahal. Padahal aturan sebelumnya mengatur naik kelas perawatan hanya dikenakan selisih biaya kamar. (Baca juga: Mau Layanan Rawat Jalan Eksekutif? Baca Peraturannya).

“Permenkes ini juga belum mengakomodasi keseluruhan biaya berobat untuk penyakit langka yang butuh biaya besar seperti atresia bilier,” kata politisi PDIP itu dalam keterangan pers, Senin (01/5).

Ketiga, Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN. Rieke berpendapat aturan ini mewajibkan peserta kategori mandiri membayar iuran untuk seluruh keluarga tanpa memperhatikan kemampuan ekonominya. (Baca juga: Ada BUMN Belum Patuhi Aturan JKN, Begini Penjelasan Menteri Rini).

Keempat, Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Iuran bagi Peserta JKN. Aturan ini memuat ketentuan tentang masa aktivasi 14 hari untuk peserta mandiri yang baru melakukan pendaftaran. Bagi Rieke ketentuan ini mengadopsi mekanisme asuransi swasta sehingga calon peserta harus menunggu sampai 14 hari sampai bisa ditanggung.

Untuk regulasi terkait BPJS Ketenagakerjaan, pertama, Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pensiun. Rieke mendesak peraturan ini direvisi karena manfaatnya sangat minim sekitar Rp300 sampai Rp3,6 juta diterima setiap bulan pada saat pensiun. Program jaminan pensiun ini perlu diperluas untuk menyasar pekerja sektor informal seperti petani, nelayan, kemudian warga miskin dan penyandang disabilitas.

Kedua, PP No. 60 Tahun 2015  tentang Perubahan Atas PP No. 46 Tahun 2015 tentang  juncto Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). Beleid ini perlu dibenahi karena pelaksanaannya menyimpang dari konsep JHT karena peserta yang baru berhenti kerja sebulan bisa langsung mencairkan JHT. Ini mengancam keberlanjutan program JHT dan manfaat yang diterima dari hasil pengembangan relatif sedikit.

Ketiga, PP No. 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (Jkm) PNS dan PPPK yang saat ini diserahkan pengelolaannya kepada PT Taspen. Program ini harusnya diselenggarakan lewat BPJS sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS. (Baca juga: Program Return to Work Bisa Diperoleh dengan Syarat).

Keempat, Permenaker No.1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program JKK dan JKm. Rieke mengkritik batas maksimal 56 tahun bagi peserta mandiri, harusnya batas usia itu diperpanjang sampai 65 tahun sehingga akses jaminan sosial makin luas.

Dalam memperingati Mayday 2017 pemerintah mengklaim terus meningkatkan kesejahteraan, perlindungan dan kompetensi buruh. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan peningkatan kesejahteraan tidak melulu berkaitan dengan upah. Tapi, ada faktor lain yakni menekan pengeluaran buruh dengan kompensasi kebijakan sosial seperti akses pendidikan, kesehatan, keuangan, jaminan sosial dan perumahan yang layak.

"Pemerintah terus meningkatkan kualitas perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Memang ini harus dilihat jangan semata-mata dari sisi upah, kesejahteraan ini juga harus dilihat dari kebijakan-kebijakan sosial negara," ungkap Hanif saat memberi sambutan pada puncak perayaan Mayday di Jakarta, Senin (01/5).
Tags: