Angket KPK Dinilai Bahayakan Momentum Pemberantasan Korupsi
Berita

Angket KPK Dinilai Bahayakan Momentum Pemberantasan Korupsi

ILUNI FH UI menilai, jika angket terus dipaksakan, bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice.

NEE
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FH UI) keberatan atas hak angket yang digulirkan oleh DPR RI pada KPK. Bagi ILUNI FH UI yang dipimpin oleh Ahmad Fikri Assegaf itu, hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK dinilai tidak proporsional dan dapat membahayakan momentum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Meskipun hak angket adalah kewenangan konstitusional DPR RI, penggunaannya kepada KPK dalam kasus korupsi e-KTP yang menyeret sejumlah politisi di DPR dinilai keliru dan merupakan bentuk intervensi politik terhadap proses penegakan hukum.

Dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Rabu (3/5), ILUNI FH UI mengkritisi penggunaan dasar hukum yang digunakan DPR untuk menggunakan hak angket kepada KPK yaitu pasal 20 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). ILUNI FH UI berpendapat bahwa bunyi pasal 20 ayat (1) UU KPK tidak menyebutkan bahwa KPK bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan tugasnya baik kepada DPR, Presiden, maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

(Baca Juga: Hak Angket KPK Dinilai ‘Salah Alamat’)

Bunyi sesungguhnya dari Pasal 20 ayat (1) UU KPK adalah: “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”. Sehingga, ILUNI FH UI berpendapat bahwa hubungan KPK dengan DPR, Presiden dan BPK adalah dalam konteks pemberian laporan.

Sementara itu dalam naskah hak angket DPR yang beredar di masyarakat, ILUNI FH UI menemukan redaksi di bagian Pendahuluan tertulis: “…, Pasal 20 ayat (1) UU KPK menetapkan pertanggungjawaban publik KPK, yakni ditujukan kepada Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI)”. Kesimpulan DPR dengan menggunakan pasal tersebut dianggap keliru.

(Baca Juga: Asosiasi Pengajar Tata Negara Kritik Hak Angket KPK)

Dalam pasal 79 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) memang disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, penggunaan hak angket pada KPK dalam proses hukum kasus korupsi e-KTP memberikan kesan bahwa ada upaya intervensi politik dalam penegakan hukum yang ditangani KPK. Antara lain karena adanya butir khusus yang tercantum dalam naskah angket yaitu pencabutan BAP oleh Miryam S. Haryani dalam persidangan kasus e-KTP.

Selain itu, ILUNI FH UI melihat adanya kejanggalan dalam pengambilan keputusan hak angket yang tidak transparan. Rapat paripurna penentuan hak angket dihujani interupsi karena fraksi partai di luar pengusung hak angket tidak dimintai pendapat lebih dahulu sebelum akhirnya pimpinan rapat paripurna mengetuk palu sidang. Padahal Pansus Angket yang akan dibentuk harus beranggotakan perwakilan seluruh fraksi yang ada.

(Baca Juga: Pengambilan Keputusan Hak Angket KPK Terkesan ‘Dipaksakan’)

DPR RI telah menyetujui usulan penggunaan hak angket dari sejumlah anggotanya pada rapat paripurna Jumat (28/4) lalu. Hak angket ini akan digunakan antara lain untuk meminta KPK membuka rekaman transkrip pemeriksaan Miryam S Haryani, tersangka kasus korupsi e-KTP. Miryam diduga menyebut sejumlah anggota dewan yang mengintervensi dirinya terkait kasus proyek e-KTP.

ILUNI FH UI berpendapat, jika hak angket tetap dipaksakan, akan terlihat sebagai upaya intervensi DPR terhadap proses penegakan hukum dan dapat mengganggu independensi KPK, antara lain dalam penyidikan kasus korupsi e-KTP. Bahkan dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum antikorupsi yang menjadi tugas KPK.
Tags:

Berita Terkait