APHKI: Instrumen HKI Jadi Alat Penjajahan Baru Negara-negara Maju
Terbaru

APHKI: Instrumen HKI Jadi Alat Penjajahan Baru Negara-negara Maju

Pandemi Covid-19 menyingkap kekuatan negara maju menguasai kekayaan intelektual global. Posisi negara berkembang termasuk Indonesia lemah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi kekayaan intelektual. HOL
Ilustrasi kekayaan intelektual. HOL

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Kekayaan Intelektual (APHKI), OK Saidin, menyampaikan ketahanan bangsa dalam perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya paten semakin lemah. Akibatnya kemandirian bangsa dalam bidang pengelolaan sumber daya alam tak lagi dapat dipertahankan. 

Fakta bahwa lebih dari 80 persen bahan mentah dunia berasal dari negara miskin dan negara berkembang termasuk Indonesia dipakai oleh kurang dari sepertiga umat manusia. Bahan-bahan itu dieksploitasi dan eksplorasi oleh negara-negara industri maju melalui instrumen hukum investasi dan hukum paten. Selain itu, dalam bidang obat-obatan misalnya, Indonesia sangat tergantung dengan Asing. Hampir 90 persen bahan baku obat-obatan didatangkan dari luar negeri, begitu pernyataan pemerintah pada bulan April 2020.

Saidin mengatakan pihak asing meminta untuk patennya dilindungi di Indonesia, tapi tidak harus dilaksanakan di Indonesia. Indonesia harus puas dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di negerinya. Terakhir redaksi Pasal 20 UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang oleh asing dianggap menghambat perdagangan global, harus diamandemen melalui Pasal 107, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. (Baca: Urgensi Melindungi Kekayaan Intelektual di Era Pandemi)

Dia menjelaskan jika ketentuan sebelumnya mengatakan pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia dan harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja, maka melalui UU Cipta Kerja, cukup dengan mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi paten atau produk yang dihasilkan dari metode, itu sudah dapat mewakili Pelaksanaan Paten. Jadi tidak ada lagi kewajiban untuk melaksanakan Paten di Indonesia dengan membuat produk yang menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.

“Ini yang saya katakan kemandirian bangsa ini mulai tergerus, atau meminjam istilah May Cristoper dalam bukunya, The Global Political Economty of Intellectual Propertty Rights, (2010).  Instrumen HKI sudah mejadi alat penjajajahan baru Negara-negara Industri Maju terhadap Negara-negara Berkembang,” jelas Saidin dalam Webinar “Kontroversi Eksklusivitas Paten di Era Pandemi”, Senin (14/6).  

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), kondisi ini terjadi secara sadar karena memerlukan tindakan dan penyesuaian oleh negara-negara industri maju dengan Indonesia yang memiliki kemampuan terbatas. Sebagai Negara yang menjadi anggota WTO, Indonesia harus taat pada The Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang dikenal dengan Marakesh Convention dan seluruh rangkaian konvensi ikutannya antara lain The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).

“Tak heran jika kemudian negara-negara industri maju yang sebahagian besar sebagai pemilik HKI menginginkan agar negara berkembang (Developing Countries) menyesuaikan peraturan perundang-udangan HKI-nya dengan standar TRIPs Agreement, meskipun dalam berbagai ketentuan dibuka peluang kepada negara berkembang untuk memanfaatkan fleksibiltas TRIPs Agreement. Yang disebut terakhir ini misalnya terhadap pelindungan paten obat-obatan dan teknologi kesehatan yang dituangkan dalam Doha Agreement,” jelas Saidin.

Meski terdapat anggapan TRIPS bukan liberalisasi perdagangan melainkan hanya berupa proteksi, tapi Saidin mengatakan tetap saja mempunyai implikasi liberal dan bahkan jadi jalan mulus perkenomonian dunia yang mengantarkan dunia pada kemenangan kapitalisme yang berujung pada demokrasi liberal.

Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia harus melindungi kepentingan nasionalnya (commit nationally), namun sebagai bangsa yang berada bersama-sama dalam pergaulan Internasional Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan kepentingan global (think globally) dengan menyeimbangkannya dengan tuntutan kepentingan lokal (act locally).

Saidin berpandangan bumi yang merupakan planet kecil yang dihuni manusia perlu diselamatkan dan di sini dituntut komunikasi Internasional yang lebih berpihak pada kepentingan bersama.  Pelindungan Paten adalah salah satu instrumen untuk melindungi bumi dari eksploitasi dan eksplorasi berlebihan dari negara industri maju yang kian hari kian rakus seolah-olah bumi ini hanya untuk dinikmati hari ini. 

“Di sinilah dituntut kearifan para juru runding negara kita dalam berbagai perundingan internasional untuk merumuskan kaedah-kaedah hukum konkrit yang lebih aplikatif memiliki muatan yang berkepastian hukum, bermanfaat dan berkeadilan untuk keberlangsungan hidup ummat manusia di muka bumi,” jelas Saidin.

“Meskipun kita tidak menuntut untuk diperlakukan secara equal karena ketertinggalan kita, tapi kita harus mampu mengatakan bahwa ketertinggalan kita bukanlah sesuatu yang kita kehendaki. Oleh karena itu kita mendukung keinginan dan harapan India dan beberapa Negara dunia ketiga lainnya (Afrika Selatan), sebagaimana dikutip dari Ashok Dhinggra (Mei, 2021) untuk mengenyampingkan pemberlakuan atau pembebasan TRIPs Agreement (Waiver TRIPs), terkait monopoli vaksin, obat-obatan dan teknologi kesehatan terkait pendemi Corona. Keinginan ini juga telah iikuti dan disampaikan oleh beberapa Negara Dunia ketiga lainnya kepada Dewan TRIPs di bawah naungan WTO, yang juga telah memulai perundingan” tambah Saidin.

Menurutnya, kehancuran satu negara akan membawa dampak kerugian bagi negara lain. Oleh karena itu, jangan pernah merasa aman dan nyaman bagai manusia yang ditinggal dibelahan bumi jika ada orang yang tinggal di belahan bumi lain hidup dalam suasana yang menderita.

Perlu dipahami, pandemi Covid-19 menyebabkan kebutuhan masyarakat terhadap produk-produk berkaitan penanganan virus meningkat. Seiring itu, kemunculan produk-produk baru yang memiliki nilai kekayaan intelektual juga bermunculan. Misalnya, produk farmasi menjadi salah satu sektor yang paling dibutuhkan sekaligus berkembang saat pandemi ini.

Melihat kondisi tersebut, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, mendorong agar pelaku usaha sektor farmasi mendaftarkan kekayaan intelektualnya kepada negara. Pendaftaran tersebut untuk melindungi hak warga negara atas kekayaan intelektual dan meningkatkan daya saing dengan produk asing. Seperti diketahui, akibat pandemi Covid-19, impor obat dan bahan baku obat meningkat signifikan.

Freddy menjelaskan dengan melindungi hak kekayaan intelektual tersebut maka ketergantungan impor dalam penanganan pandemi Covid-19 jauh berkurang. Menurut Freddy, penanganan pandemi Covid-19 melalui obat-obatan lebih strategis dibandingkan vaksin. Terlebih lagi, produk vaksin yang digunakan di Indonesia merupakan impor. 

“Genose dari UGM itu lebih better dibanding yang lain karena dari bangsa saya. Kalau ada vaksin merah putih juga akan saya dukung. Setiap PCR (impor) nilainya US$ 15-20, kelihatannya kecil tapi kalau dikali 4 juta orang besar juga,” jelas Freddy.

Ironisnya, Freddy menceritakan produk booster berbahan temulawak atau kurkuma dan jahe dipasarkan di negara lain. “Saya lihat di Swiss muka pintu bandara dipajang kurkuma booster, ginger booster. Padahal, saya tahu produksi terbesarnya ada di negara ini. Bikin ngenes. Mau apa itu Genose atau apa saja kita dorong untuk daftarin, terserah politiknya seperti apa,” jelas Freddy.

Dia juga menyayangkan masih terdapatnya makelar yang membuat produk dalam negeri terhambat. Freddy mengatakan praktik makelar tersebut hanya bertujuan mencari keuntungan. “Persoalan bukan hanya di industrinya tapi hambatannya ada di pedagang, bilang lah obat dalam negeri tidak bagus,” kata Freddy.

Tags:

Berita Terkait