Apindo Nilai Draf RUU Sumber Daya Air ‘Cekik’ Dunia Usaha
Utama

Apindo Nilai Draf RUU Sumber Daya Air ‘Cekik’ Dunia Usaha

Selain dunia usaha, RUU Sumber Daya Air juga akan berdampak pada daya beli masyarakat.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dihapusnya seluruh pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No 85/PUU-XI/2013 telah mengembalikan pengaturan soal penguasaan dan pengelolaan sumber daya air (SDA) kepada UU lama, yakni UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Setelah beberapa tahun berlaku, UU 11/1974 akan segera digantikan oleh undang-undang yang baru. Saat ini, RUU SDA masih dalam pembahasan di DPR.

 

Lantaran tak dilibatkan dalam proses pembahasan RUU SDA ini, Anggota Bidang Kebijakan Publik APINDO, Lucia Karina, merasa ketentuan yang dimuat dalam RUU SDA sangat merugikan dan tidak adil bagi pelaku usaha. Padahal, pelaku industri khususnya sektor swasta adalah pihak yang terdampak sebagai pemangku kepentingan.

 

“Selama proses pembahasan itu, pelaku Industri tidak dilibatkan secara konstruktif guna memberikan masukan dalam rapat dengar pendapat,” katanya, Selasa (23/7).

 

Selama periode 27-29 Mei 2019 dan 1-8 Juli 2019 DPR dan perwakilan pemerintah telah melakukan beberapa Rapat Kerja (konsinyering) panja RUU SDA. Adapun sisa daftar inventaris masalah (DIM) yang belum juga telah dibahas pada 15 Juli 2019 oleh Tim Perumus.

 

Hasilnya draf RUU SDA yang dihasilkan dinilai tak hanya mencekik dunia usaha, namun sebetulnya juga akan berdampak pada daya beli masyarakat. Contohnya, dengan adanya aturan menyisihkan paling sedikit 10% laba usaha untuk konservasi SDA. Padahal, badan usaha yang memanfaatkan air permukaan telah dikenakan pajak sebesar 10% (vide; Pasal 24 UU 28/2009) dan bagi perseorangan maupun badan usaha yang memanfaatkan air tanah dikenakan pajak sebesar 20% (vide; Pasal 70).

 

“Belum lagi pelaku usaha juga diharuskan membayar biaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai PP 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup,” tukasnya.

 

Bila ditambah lagi dengan penyisihan laba 10%, efeknya tentu akan semakin menaikan beban biaya operasional industri, sehingga mau tidak mau perusahaan harus menaikkan harga jual. Efek dari naiknya harga jual tentu dapat menurunkan pula daya beli masyarakat.

 

Multiplayer effect lain yang mungkin muncul seperti terjadinya penurunan daya saing dengan produk luar negeri (baik impor maupun ekspor); bila terjadi penutupan fasilitas industri maka pemutusan hubungan kerja akan berpotensi membesar. Selain itu, isu perlindungan konsumen terkait kenaikan harga yang begitu tinggi juga akan mengemuka.

 

Ditambahkan Ketua APINDO, Hariyadi Sukamdani, selain soal ketentuan penyisihan laba 10% itu, bunyi penjelasan Pasal 51 ayat (1) RUU SDA juga dicap bermasalah. Pasalnya, pasal a quo tidak membedakan antara fungsi sosial dan fungsi ekonomi dari air. Ketentuan itu mengaburkan apa yang menjadi kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat (fungsi sosial) dan mana yang menjadi kewajiban pemerintah untuk membangun perekonomian dengan mendorong dunia usaha (fungsi ekonomi).

 

 

 

Pasal 51:

  1. Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan Air dan daya air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negarabadan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 46.

 

Seharusnya, katanya, produk air minum untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat disediakan oleh pemerintah melalui sistem penyediaan air minum (SPAM) atau air perpipaan. Sedangkan air untuk keperluan industri yang dilakukan oleh pihak swasta tak sepatutnya dibatasi hanya jika bekerjasama dengan BUMN, BUMD atau BUMDes. Dengan terlibatnya swasta, bukan berarti penguasaan atas sumber daya air berubah mengingat pemerintah tetap memegang kontrol dari sisi perizinan.

 

“Bila ada oknum pelaku usaha yang melanggar pemerintah bisa mencabut izinnya, bukan malah membatasi,” tegasnya.

 

Konsekuensi dari pasal itu, juga tampak adanya penyeragaman antara fungsi AMDK dengan SPAM. Akhirnya AMDK swasta dilarang menggunakan air sebagian bahan baku. Ketentuan ini jelas tak hanya mencekik tapi juga bisa mematikan ratusan pelaku usaha serta ribuan tenaga kerja. Dalam konteks bisnis, pasal ini juga bisa menurunkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

 

“Dampak ekonomi yang besar harus ditanggung negara bila terjadi penutupan ataupun pengambilalihan AMDK swasta oleh negara,” tukasnya.

 

Pengambilalihan itu dinilai juga akan sangat memberatkan negara. Anggota Bidang Kebijakan Publik APINDO, Rachmat Hidayat, bahkan mengatakan untuk membangun SPAM saja, pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp 1200 triliun dan pemerintah belum memiliki biaya yang cukup untuk itu. “Jadi bagaimana bisa pemerintah akan membeli ribuan perusahaan ini?,” tukasnya.

 

(Baca: Pembentuk UU Dinilai ‘Setengah Hati’ Perjuangkan RUU Konservasi SDA)

 

Padahal jika bicara air, tak hanya AMDK, semua industri yang menggunakan air juga akan terkena imbas. Kini, katanya, mungkin yang akan diambil alih AMDK, namun potensi industri lainnya juga akan diambil alih semakin nyata. Bahkan untuk kawasan sumber daya air yang dikelola oleh swasta juga harus terbuka lebar untuk diambil oleh masyarakat dalam waktu 24 jam.

 

“Setiap orang boleh masuk untuk ambil airnya, itu namanya membunuh pelaku usaha secara perlahan,” tukasnya

 

Pasalnya, tak sekadar risiko kehilangan SDA, tapi risiko tercemarnya air oleh pelaku usaha pesaing juga akan sangat besar bila siapapun boleh masuk dalam kasawan SDA yang dikantongi ijinnya oleh pelaku usaha. Ia menganalogikan dengan bisnis perhotelan.

 

“Bagaimana mungkin orang bisnis hotel misalnya terus semua orang bisa bebas masuk?,” contohnya.

 

Rachmat juga memprediksi bahwa iklim investasi akan drop total jika RUU SDA disahkan dengan aturan seperti ini. Indonesia bakal terpelanting dari ASEAN. Bahkan, sambung Rachmat, negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Singapura, Thailand dan sebagainya diberi hak mengusahakan SDA karena memang tidak bisa ditampik bahwa peran swasta itu perlu dan swasta tidak boleh dibunuh.

 

“Kalau memang izinnya cuman BUMN dan BUMD kami bisa apa? Kita kan hanya warga negara, ada hukum yang ingin membunuh sekelompok warga negara dalam hal ini AMDK, kita bisa apa? sementara kami punya pekerja yang 50 ribu lebih itu, keluarga besar kita yang 250 ribu lebih,” ujar Rachmat.

 

Bahkan teman-teman lain yang bukan AMDK, kata Rachmat, untuk mengurus SDA nya agar bisa hidup mereka juga harus membayar bank garansi, kerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah bahkan harus menyisihkan laba usaha 10% minimal berdasarkan RUU SDA. Sementara kita juga sudah dibebankan pajak, ini jelas dapat mematikan pelaku usaha secara perlahan.

 

Tags:

Berita Terkait