Arah Kebijakan OJK Hadapi Risiko Perang Dagang AS-Cina
Profil

Arah Kebijakan OJK Hadapi Risiko Perang Dagang AS-Cina

OJK lebih berperan dari segi pembiayaan, yakni meyakinkan sektor keuangan siap mendukung program pemerintah.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ketua DK Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso.
Ketua DK Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertanggung jawab mengawasi industri jasa keuangan yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi ekonomi nasional. Dampak perang dagang antara Amerika Serikat-Cina serta perlambatan ekonomi dua tahun terakhir memberi tekanan besar terhadap industri jasa keuangan. Apabila OJK tidak tepat dalam mengatur jalannya industri jasa keuangan maka berisiko buruk bagi ekonomi nasional.

 

Tantangan industri jasa keuangan tidak hanya itu. Disrupsi teknologi bak pedang bermata dua. Teknologi memberi kemudahan dan efesiensi bagi pelaku usaha serta konsumen. Sisi lain, teknologi juga memiliki risiko tinggi seperti pencurian data pribadi hingga kelemahan perangkat teknologi.

 

Masih segar dalam ingatan publik terdapat peristiwa ribuan nasabah bank tiba-tiba berubah saldonya karena gangguan sistem. Kemudian, fenomena financial technology (fintech) yang kemunculannya dibayangi dengan stigma negatif seperti penagihan kasar, bunga tinggi hingga penyebaran data pribadi.

 

Atas kondisi tersebut, hukumonline mewawancara Ketua Dewan Komisioner OJK 2017-2022, Wimboh Santoso di kantornya, Jakarta, Selasa (20/8).

 

Bagaimana dampak tekanan perang dagang AS-Cina terhadap ekonomi nasional khususnya jasa keuangan?

Sebelum saya jawab langsung pertanyaan, perlu diketahui latar belakang perang dagang ini terjadi dalam rangka upaya Amerika memperbaiki neraca perdagangan dan pembayaran terutama kepada negara-negara mitra dagang. Ternyata neraca perdagangan mereka defisit terutama Cina dan negara-negara berkembang lainnya seperti Thailand, India, even Indonesia.

 

Dari negara-negara tersebut, hanya Indonesia yang sampai saat ini belum direview GSP-nya (generalized system of preference). GSP itu adalah daftar barang yang tidak dikenakan tarif atau tarif 0 untuk bisa masuk amerika. Indonesia ada sekitar 3.500 item. Amerika melakukan itu (kenaikan tarif) karena mereka terus-menerus berat neraca perdagangan sehingga defisit. Amerika juga tidak bisa berproduksi karena barang impor murah. Ini mulanya pada tarif.

 

Sebelum masuk, perang dagang ini mulanya ada hubungannya dengan teknologi. Teknologi bisa membawa apa saja penemuan-penemuan baru yang bisa dibawa ke negara berkembang. Sekarang barang-barang seperti tekstil, mainan atau barang-barang supporting industri, manufacturing, sparepart sekarang semua bisa dibuat di negara-negara emerging market yang upahnya lebih murah dan barangnya ada semua. Sehingga negara-negara maju terutama Amerika enggak kompetitif lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait