Awas Setir Kanan!
Tajuk

Awas Setir Kanan!

Kita hanya tidak ingin ke depannya melihat pemimpin yang sekarang dan akan dipilih nanti dalam pilkada dan pemilu mendatang menanamkan bibit-bibit perpecahan yang merusak persatuan Indonesia yang justru tumbuh dan berkembang dari perbedaan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Baru-baru ini pemilu Austria menunjukkan kembali arus deras di Eropa untuk belok kanan. Dengan Trump di AS, maka arus ke kanan di Eropa bisa mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh Steven Erlanger dan James Kanter dalam The New York Times 16 Oktober lalu tentang “the new normal of Europe”. Jadi ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena nyaris saja Jerman, Belanda dan Perancis dalam pemilu mereka yang belum lama ini mereka lakukan, seakan mau membuka jalan lebih dahulu untuk serong kanan. Nasionalisme sempit, populisme, “own country first”, anti imigran, dan anti Islam, adalah slogan dan garis kebijakan dasar para penguasa atau calon penguasa Eropa baru yang (katanya) normal itu.

Yang mengherankan, kalau Trump yang tua bisa memenangkan pemilu di AS karena dukungan sebagian besar pemilih yang sangat konservatif, mereka yang tersingkir karena krisis ekonomi yang berkepanjangan, mereka yang tinggal di kantong-kantong tradisional Amerika, dan para pemuja AS sebagai “the guardian of the planet earth”, maka Sebastian Kurz adalah pemuda milineal berusia 31 tahun yang dekat dengan generasi muda, gaul, aktif dalam kegiatan komunitas dan menerapkan pilihan sikap dan cara hidup anak muda milineal di Djaman Now. Kaum milineal dekat dengan semangat kerja bareng, berkolaborasi, kebebasan berpendapat, keberpihakan pada yang tertindas, dan anti-estabishment. Dari sisi ini, kemenangan Kurz, yang merupakan tokoh dan dekat dengan generasi milenial, agak mengherankan.

Hampir 58% warga Austria memilih partai kanan-tengah dan partai yang kanan sekali, yaitu The People’s Party, partainya Kurz, dan The Freedom Party yang juga pernah hampir memenangi pemilu beberapa tahun yang lalu tetapi memilih untuk masuk koalisi.

Pilihan Kurz ke depan jadi terbatas pada apakah melakukan koalisi dengan The Freedom Party yang mendapatkan jumlah suara yang mendekati suara partainya atau membentuk koalisi dengan partai tengah-kiri, The Social Democrats Party, seperti yang kerap terjadi. Artinya kebijakan pemerintah nantinya, dan seharusnya, menjadi tidak terlalu kanan, walaupun banyak terdengar kegaduhan, baik debat di parlemen maupun melalui media masa dan sosial.

Tapi okelah, sejarah Austria memang selalu berada di kisaran itu, tengah atau kanan, jadi hasil akhir ini, dengan melupakan faktor miilineal tadi, tidak mengejutkan. Koalisi dengan The Freedom Party akan menghasilkan kebijakan dasar yang populis, nasionalis sempit, mengutamakan kepentingan dalam negeri, anti imigran dan bahkan bisa-bisa anti Islam.

Walaupun Austria dianggap kecil, tidak sebesar Jerman atau Perancis, perlu diantisipasi apa pengaruhnya terhadap negara lain di Eropa yang sudah tengah-kanan atau bahkan yang tengah saja, atau tengah-kiri, dan apa pula dampaknya terhadap perdagangan, investasi, diplomasi, donasi dan kerja sama lain dengan negara-negara di luar Eropa, terutama terhadap yang mereka anggap sebagai masalah mereka saat ini (negara asal imigran, miskin, sedang berkonflik internal, atau Islam)? Kalau ini digabung dengan gerakan Trump yang ingin memimpin dunia ke arah kanan, bisa dibayangkan apa jadinya dunia ini nanti.

Kemudian, mari kita berkaca pada diri sendiri. Tuduhan bahwa sebagian dari kita sudah mulai bermesraan dengan konsep kanan (diterjemahkan sebagai sikap diskriminatif, populis nasionalistik, anti golongan, ras dan agama tertentu), tentu perlu dicermati untuk jangan sampai berkembang membahayakan.

Bahwa akan selalu terjadi perbedaan pendapat di masyarakat  mengenai dasar-dasar negara, struktur kelembagaan negara dan pemerintahan, pembagian kekuasaan, ideologi politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum yang ideal, ini selalu perlu disikapi secara terbuka dan lapang dada, karena masih banyak ruang yang belum kita isi setelah kemerdekaan, dan banyak lagi ruang-ruang yang perlu kita tinjau kembali untuk tidak mengulangi kesalahan, atau untuk mengikuti perkembangan pemikiran yang lebih maju dan lebih bisa kita terima untuk saat ini.

Yang menjadi sulit diterima adalah ketika ruang debat itu ditutup, dan cara mencapai tujuan dilakukan dengan mengerahkan kekuasaan, alat paksa dan ancaman terhadap jiwa, rasa aman dan kedamaian. Mempersatukan perbedaan bukan suatu upaya yang mudah. Pada waktu terdapat suatu kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan bersama, di tengah ketidak-berdayaan, tidak adanya akses ke bantuan, dan di mana semua bangsa di dunia sedang sibuk menata diri, maka mempersatukan perbedaan untuk menjadi Indonesia relatif lebih bisa dikendalikan.

Menjaga persatuan Indonesia yang sangat plural dalam kondisi saat ini di mana setiap pelosok Indonesia sudah terbuka dan dapat diakses oleh siapapun juga, pendidikan dan pemahaman serta cara berkomunikasi anggota masyarakat sudah jauh meningkat, adalah usaha yang sulit bukan main. Menjaga persatuan dalam perbedaan merupakan suatu usaha yang perlu dilakukan terus menerus dengan determinasi kuat dan kesabaran yang tak bertepi.

Ancaman sekecil apapun terhadap suatu golongan atau masyarakat dengan keyakinan politik, etnis, bahasa, dan agama yang berbeda oleh mereka yang dianggap lebih besar atau kuat, akan mengundang reaksi bahkan perlawanan. Mempertahankan persatuan dengan hukum saja tidak akan pernah cukup.

Catalonia dan Spanyol sedang menghadapi masalah itu, gerakan untuk merdeka karena tidak melihat perlunya berada dalam persatuan Spanyol, yang dianggap inkonstitusional oleh Spanyol. Cukupkah Spanyol membendung gerakan itu dengan konstitusinya? Atau pada akhirnya Spanyol akan mengerahkan kekuatan bersenjata? Kita paham bahwa Spanyol pernah melalui perang saudara yang menoreh luka panjang, dengan 600-an ribu korban gugur dan 400-an ribu orang lari meninggalkan Spanyol.

Saya hanya melihat bahwa banyak hal yang tidak bisa kita duga terjadi akan terjadi, dan kita tidak mau menyesal nanti. Banyak kini orang Amerika merasa menyesal bahwa mereka pernah memilih Trump. Bush sendiri, mantan presiden dari Partai Republik, barusan mengecam cara Trump berpolitik dan berkomunikasi. Kita tidak tahu apakah pemilih Kurz akan menyesal nanti, terutama mereka yang mewakili kelompok milenial.

Kita di Indonesia menghargai proses demokratisasi melalui salah satu tiangnya, pemilihan umum. Hasilnya, kecuali ada kecurangan, harus diterima dengan lapang dada, dan para pemimpin terpilih silahkan bekerja melaksanakan programnya dalam koridor peraturan perundangan.

Kita hanya tidak ingin ke depannya melihat pemimpin yang sekarang dan akan dipilih nanti dalam pilkada dan pemilu mendatang menanamkan bibit-bibit perpecahan yang merusak persatuan Indonesia yang justru tumbuh dan berkembang dari perbedaan. Sejarah akan mencatat, apakah mereka akan menjadi sebagian pemimpin yang mengisi dan memperkokoh persatuan Inodnesia, dan bukan justru pemimpin yang menanamkan bibit atau bahkan memulai upaya perusakan persatuan Indonesia.

Sentul, Oktober 2017. ATS
Tags: