Bagir Manan: Indonesia Alami Pergeseran Paradigma HAM
Berita

Bagir Manan: Indonesia Alami Pergeseran Paradigma HAM

Indonesia punya pengalaman menerapkan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam periode yang berbeda atau tidak beriringan.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Bagir Manan (tengah) dalam Kuliah Umum Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia di FHUI, Depok, Rabu (18/11). Foto: CR19
Bagir Manan (tengah) dalam Kuliah Umum Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia di FHUI, Depok, Rabu (18/11). Foto: CR19

Mantan Hakim Agung, Bagir Manan, menilai Indonesia telah beberapa kali terjadi pergeseran paradigma terkait dengan hak asasi manusia (HAM). Pergeseran paradigma tersebut terkait dengan dua aspek, yakni hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini disampaikan Bagir Manan dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia di FHUI, Depok, Rabu (18/11).

Dalam pemaparannya, Bagir melihat bahwa selama ini praktik yang berlaku di Indonesia hanya terfokus pada hak sipil dan politik. Paling tidak ada empat hal yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, hak sipil dan politik lebih mudah diidentifikasi. Kedua, karena hak sipil dan politik ini sangat sensitif mengingat hak ini dekat karena melekat terhadap setiap individu.

Alasan selanjutnya, karena banyak lembaga negara hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern dengan isu-isu yang berkaitan dengan individu. Hal itu juga ditambah dengan banyaknya publikasi dari media masa yang mengangkat isu-isu hak individu yang dilakukan oleh lembaga negara dan LSM. Alasan yang terakhir, katanya, hak sipil dan politik sering berkonfrontasi dengan kekuasaan. “Karena memang itu salah satu tujuan dari HAM,” katanya.

Sebaliknya, lanjut Bagir, justru jarang sekali orang yang concern mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ia tak menampik, dalam perspektif HAM, negara wajib ikut campur dalam memenuhi setiap aspek dari hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sementara, negara dilarang mengintervensi hak sipil dan politik.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Bagir. Apakah bisa antara hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya berjalan berdampingan? Menurut Bagir, sebetulnya ada dua paradigma yang saling bertentangan. Misalnya, di negara Tiongkok (China), hak sipil dan politik yang menjadi domain hak setiap individu sangat dibatasi oleh negara.

Namun, warga di China merasa bangga atas intervensi yang dilakukan oleh negaranya. Salah satu alasannya, karena negara menjamin setiap warganya menikmati kesejahteraan ekonomi yang dilakukan oleh negaranya. “Di Singapura juga begitu, kesejahteraan tinggi tetapi ada pembatasan terhadap hak individu,” tambahnya.

Akan tetapi, hal seperti itu tidak berlaku di negara-negara Eropa. Menurut Bagir, di Eropa, antara hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa berjalan berdampingan. Salah satu alasannya karena negara-negara di Eropa menerapkan kesejahteraan masyarakat sebagai basis atau dasar yang menjadi fokus pencapaian masing-masing negara. “Di Indonesia sebenarnya pernah mengalami dua hal semacam itu,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait