Bagir Manan: Indonesia Alami Pergeseran Paradigma HAM
Berita

Bagir Manan: Indonesia Alami Pergeseran Paradigma HAM

Indonesia punya pengalaman menerapkan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam periode yang berbeda atau tidak beriringan.

CR19
Bacaan 2 Menit

Bagir menambahkan, pengalaman Indonesia ketika begitu mengedepankan hak sipil dan politik pernah terjadi sekitar tahun 1950 hingga 1959. Salah satu kondisi yang diingat Bagir, yakni ada 28 partai politik (parpol) yang berdiri. Selain itu, setiap pembahasan kebijakan juga diarahkan untuk bagaimana hak sipil dan politik bisa diaktualisasikan.

Namun, kebebasan individu yang berlangsung saat itu, tidak diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Sehingga, kebebasan hak individu itu tidak diikuti dengan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi yang signifikan.

“Nikmat sekali ketika itu. Akan tetapi pembangunan ekonomi sangat tidak bagus,” kenangnya.

Pada fase berikutnya, tepatnya pada masa orde baru terjadi hal yang sebaliknya. Ketika itu, pembangunan ekonomi sangat baik dan begitu pesat. Sehingga peran negara dalam mengedepankan hak ekonomi, sosial, dan budaya begitu signifikan. Tapi sayangnya ada sisi yang terabaikan, yakni hak sipil dan politik setiap warga negara Indonesia. Dikatakan Bagir, paradigma yang berkembang ketika itu adalah ketika negara melakukan pembangunan maka di sisi lain negara juga mesti mengintervensi hak-hak individu warga negaranya.

Hal tersebut terjadi karena saat itu pembangunan ekonomi yang dilakukan Indonesia membutuhkan stabilitas dari sisi politik. Sehingga, negara menafsirkan paradigma itu dengan mengintervensi serta mengebiri kebebasan warga negara yang dalam hal ini adalah hak sipil dan politik.

Karena ketika warga negara diberi ’kebebasan’, ada kekhawatiran hal itu akan mempengaruhi stabilitas politik yang berdampak terhadap pembangungan ekonomi di Indonesia. “Jadi penuh dengan tekanan. Semuanya demi pembangunan ekonomi karena pembangunan ekonomi membutuhkan stabilitas politik,” terangnya.

Saat ini, menurut Bagir, yang menjadi concern bagaimana mendorong agar paradigma hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa ditopang dengan hak sipil dan politik. Menurutnya, masa reformasi telah mencoba untuk melakukan hal itu. Hal ini terlihat dari sejumlah fakta bahwa pers sebagai instrumen ketika itu bebas dan tidak lagi dilakukan pembredelan. Namun, lagi-lagi, justru muncul permasalhan lain dimana konflik yang terjadi ketika itu bukan lagi publik terhadap negara melainkan publik dengan publik.

“Saat ini pelanggaran HAM terjadi antara publik dengan publik (konflik horizontal) kalau dulu konflik vertikal (publik dan negara),” kata Ketua Dewan Pers itu.

Terlepas dari itu, Bagir mengatakan, sebetulnya Indonesia memiliki modal untuk mencapai implementasi hak ekonomi, sosial, dan budaya yang beriringan dengan hak sipil dan politik. Modal itu antara lain, demokrasi, konsep negara hukum kesejahteraan yang diterapkan, Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945, serta Pancasila. Dengan sejumlah modal itu Bagir optimis bahwa Indonesia akan bisa menerapkan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya secara beriringan. “Mari beri perhatian pada hak ekonomi, sosial, dan budaya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait