Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP
Kolom

Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP

​​​​​​​Penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar agar pasal ini tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat UUD 1945.

Bacaan 2 Menit
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa

Polisi telah menetapkan Hermawan Susanto, pria yang mengancam memenggal kepala Presiden Joko Widodo sebagai Tersangka tindak pidana makar. Video ancaman Hermawan yang menjadi viral diambil saat berdemonstrasi di depan kantor Bawaslu, Jumat, 10 Mei 2019.

 

Sebelumnya, Eggi Sudjana juga dilaporkan atas beredarnya video yang menyerukan “people power” dalam sebuah orasi yang kembali berujung dengan penetapan Tersangka. Sementara itu, politikus Permadi yang bicara soal revolusi dalam sebuah video juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

 

Nasib serupa juga menimpa Kivlan Zen dan Lieus Sungkharisma yang dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan makar dan penyebaran berita bohong. Penerapan pasal makar kemudian mengundang polemik, termasuk opini yang berkembang bahwa polisi terlalu gegabah dalam menggunakan pasal ini.

 

Apa itu makar?

Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan: “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53”. Ternyata ketentuan pasal tersebut sesungguhnya tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan makar.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu pengertian makar adalah perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintahan yang sah. Tindak pidana makar diatur dalam Buku Kedua KUHP (Kejahatan) pada Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam pasal 104 sampai pasal 129. Apabila ditelusuri, dalam pengertian sempit, makar meliputi kejahatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintah dan pemberontakan.

 

Kembali pada rumusan pasal 87 KUHP, pasal tersebut ternyata merujuk pasal 53 KUHP yang mengatur tentang percobaan (poging). Pasal 53 ayat (1) KUHP berbunyi : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”

 

Dengan mengacu pada ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam pasal 53 ayat (1), yaitu adanya niat/maksud (voornemen), permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri. Ketiga syarat ini bersifat kumulatif sehingga ketiganya harus terpenuhi seluruhnya agar seseorang dapat didakwa melakukan percobaan melakukan kejahatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait