Beda Perhitungan Kerugian Keuangan Negara di Putusan Bakamla
Berita

Beda Perhitungan Kerugian Keuangan Negara di Putusan Bakamla

Penuntut menilai kerugian keuangan negara Rp60 miliar sementara majelis menilai Rp15 miliar.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit

“Menimbang bahwa nilai pengerjaan terdakwa selaku Dirut CMIT adalah senilai Rp 138.505.920 miliar tapi karena dilakukan pembayaran Rp 150 miliar seolah-olah padahal PT CMIT belum mencapai prestasi 81 persen, maka majelis hakim berpendapat ada kerugian dan memperkaya diri terdakwa yaitu Rp11.514.120.595 miliar,” jelas hakim.

Atas putusan ini penuntut umum KPK Takdir Suhan mengatakan pikir-pikir selana 7 hari. Meskipun begitu ia juga mengindikasikan banding atas putusan tersebut. “Memang tadi dalam putusan majelis hakim beda dengan tuntutan JPU ada Rp 60 miliar sekian bahwa penghitungan yang dilakukan majelis hakim memang hakim punya penilaian, namun karena kami dikasih waktu pikir-pikir, kami diskusi lagi akan ada upaya hukum lanjutan untuk menghitung upaya kerugian keuangan," ujar Takdir.

Takdir menjelaskan perbedaan antara perhitungan kerugian keuangan negara antara perhitungan BPKP yang digunakan KPK dan majelis. Menurutnya hitungan Rp60 miliar di dakwaan dan tuntutan itu tidak mempertimbangkan hal lain kaitannya dengan pemasangan alat dan sebagainya dan dianggap bahwa Rp70 miliar yang di awal. Tapi majelis hakim mempertimbangkan ada biaya lain terkait pemasangan alat dan sebagainya, sehingga hakim membuat kesimpulan kerugiannya hanya Rp15 miliar.

Sementara penasihat hukum Rahardjo, Saud Edward Rajaguguk mengaku senang atas putusan hakim. Dia senang kliennya tidak terbukti korupsi Rp 60 miliar. “Saya merasa sangat senang putusan hakim yang mengatakan pendapat BPKP Pak Rahardjo merugikan Rp60 miliar tak terbukti, tapi hakim menghitung sendiri sehingga menjadi Rp15 miliar. Ini kebetulan menguntungkan klien kami,” tuturnya. (Baca: Tersangka Baru di Korupsi Pengadaan Bakamla)

Kronologi perkara

Awalnya pada Maret 2016, Rahardjo mengusulkan kepada Kepala Bakamla saat itu Arie Soedewo dan Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau "Backbone Surveillance" yang terintegrasi dengan BIIS.

Bakamla mengajukan RAPB-P 2016 senilai total Rp400 miliar untuk pengadaan proyek tersebut. Ali Fahmi lalu berkoordinasi dengan pihak-pihak di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR. PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang pekerjaan pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" Bakamla TA 2016 dengan nilai penawaran Rp397,006 miliar. Namun pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui anggaran BCSS tersebut sebesar Rp170,579 miliar.

PT CMI Teknologi lalu melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan. Hingga batas akhir 31 Desember 2016, Rahardjo tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan 2017.

Namun PT CMI Teknologi tetap dibayar yaitu sebesar Rp134,416 miliar. Dari jumlah tersebut, ternyata biaya pelaksanaan hanya sebesar Rp70,587 miliar sehingga terdapat selisih sebesar Rp63,829 miliar sebagai yang merupakan keuntungan dari pengadaan "backbone" di Bakamla. Nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar sehingga Rahardjo selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp60,329 miliar.

Pengadaan "backbone" yang dilaksanakan oleh PT CMI Teknologi tersebut pada akhirnya tidak dapat dipergunakan sesuai tujuan yang diharapkan karena kualitas sistemnya belum berfungsi dengan baik, sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tanggal 29 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa meskipun semua "Bill of Material" yang telah dijanjikan dalam kontrak dapat dipenuhi oleh kontraktor, namun secara fungsi tidak dapat didemonstrasikan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.

Tags:

Berita Terkait