Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor
Terbaru

Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor

Empat Hakim Konstitusi berpendapat seharusnya permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor seharusnya ditolak.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Meski tidak bulat, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 seperti telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dengan begitu, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti.  

“Menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;” demikian bunyi amar putusan bernomor 25/PUU-XIV/2016 yang dibacakan Majelis MK, Rabu (25/1) kemarin. (Baca Juga : Pemerintah Dalilkan Nebis in Idem dalam Pengujian UU Tipikor)

Dalam putusannya, Mahkamah menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.

“Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang,” sebut Mahkamah dalam pertimbangannya.  

Demikian pula terkait bisnis, ketika dipandang kedua pasal ini sebagai delik formil menyebabkan pejabat publik takut mengambil kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tipikor. Akibatnya, bisa berdampak stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.

“Kriminalisasi kebijakan terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata ‘dapat’ dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai perhitungan jumlah kerugian negara sesungguhnya hingga lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara,” dalih Mahkamah.  

Menurut Mahkamah pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, kata “dapat” ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa).

“Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti ditentukan Pasal 1 ayat (3) UUD 194,” lanjutnya. (Baca Juga : Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor)

Menurut Mahkamah penerapan unsur merugikan keuangan dengan konsepsi actual loss lebih memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional. Seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006. Karena itu, konsepsi kerugian negara yang dianut dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual.

Apalagi, Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK telah mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Konsepsi  ini sebenarnya sama dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Dengan begitu, memperhatikan perkembangan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara terdapat alasan mendasar untuk mengubah penilaian konstitusionalitas putusan sebelumnya. Sebab, penilaian sebelumnya telah nyata berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam upaya pemberantasan korupsi. “Dengan demikian, kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.” (Baca Juga : MK Diminta Tafsirkan Ulang Delik Tipikor)

Empat Hakim Dissenting
Namun, putusan ini tidak diambil dengan suara bulat. Ada empat Hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan Maria Farida Indrati. Intinya, keempat hakim ini menolak pengujian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Mereka beralasan kedua pasal yang diajukan tersebut tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap sebagai delik formil.

“Kami berpendapat, keberadaan kata 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak bertentangan dengan kepastian hukum, sebagaimana didalilkan Para Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membacakan pertimbangannya.

Palguna menilai kata “dapat” kedua pasal tersebut sebagai delik formil. Dengan menghilangkan kata “dapat” justru mengubah secara mendasar kualifikasi delik formil tindak pidana korupsi menjadi delik materil. Konsekuensinya, jika akibat yang dilarang yakni “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” belum atau tidak terjadi meski unsur “secara melawan hukum” dan unsur “memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, maka berarti belum terjadi tindak pidana korupsi.

Menurutnya, kekhawatiran adanya kata “dapat” berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah termasuk para Pemohon dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan berupa kerugian negara tidaklah beralasan. Sebab, UU Administrasi Pemerintahan telah memberi perlindungan terhadap pejabat pemerintah yang diduga menyalahgunakan wewenang yang merugikan keuangan negara melalui mekanisme pengujian melalui PTUN. Sedangkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah.

“Adanya mekanisme tersebut aparat penegak hukum tidak serta-merta dapat mendalilkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah termasuk ada atau tidaknya kerugian negara. Kami berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, Mahkamah seharusnya menolak permohonan a quo.”

Sebelumnya, lewat tim kuasa hukum beberapa waga negara yakni Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK menghapus kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Pemohon menilai pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon yang berstatus sebagai terdakwa/terpidana korupsi. Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi.

Menurut pemohon, pemahaman ini disebabkan implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga pemaknaan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian” tidak harus nyata terjadi. Faktanya tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah ada penetapan tersangka korupsi.

Para pemohon menganggap sejak UU Adminitrasi Pemerintahan  terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.
Tags:

Berita Terkait