MK Diminta Tafsirkan Ulang Delik Tipikor
Berita

MK Diminta Tafsirkan Ulang Delik Tipikor

Perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan ini tetap memerlukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi norma Undang-Undang yang relevan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menilai pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidaklah nebis in idem. Menurutnya, uji materi pasal ini dapat dikatakan memiliki alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 sebelumnya.

Dia beralasan permohonan ini ada perubahan konteks sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang menyebabkan tafsir sebelumnya menjadi kurang memadai yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam tujuan bernegara. Untuk itu, dia menyarankan agar MK memberi tafsir ulang atau baru yang memberi pemaknaan kembali yang lebih jelas terkait rumusan delik tipikor dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

“Unsur kepastian hukum yang adil dan hak bebas dari rasa takut dalam konteks yang berubah menjadi indikator konstitusionalitas dua pasal tersebut harus ditafsirkan kembali untuk menegaskan makna kondisi yang berubah,” kata Maruarar saat memberi keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi, Selasa (07/6).

Terlebih adanya perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara sejak UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan keluar. Undang-Undang ini menyebutkan penyelesaian kerugian negara yang timbul menggunakan pendekatan administratif. Norma ini seakan menegaskan doktrin bahwa jalur pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). “Perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan ini tetap memerlukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi norma Undang-Undang yang relevan,” lanjutnya.  

Ekses lain, kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menimbulkan rasa khawatir dan takut dikriminalisasi meskipun yang terjadi adalah kesalahan administratif. Penyelenggara negara, khususnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), takut mengambil keputusan atau menjalankan kebijakan.

Maruarar mencontohkan pengambilan diskresi oleh pejabat BUMN yang menurut bisnis dilakukan dengan cara yang benar. Namun bisa saja dianggap korupsi jika dipandang berpotensi merugikan keuangan negara. “Itu bisa saja terjadi tidak adanya pengaturan yang jelas,”, kata ahli yang dihadirkan pemohon ini.

Padahal, kata Maruarar, Indonesia telah meratifikasi United Nations Against Corruption (UNCAC) yang telah disahkan menjadi UU No. 7 Tahun 2006. Korupsi tidak memuat unsur merugikan keuangan negara.

Kuasa hukum pemohon, Heru Widodo, berjanji mengajukan dua ahli lain untuk memperkuat argumentasi. Ketua majelis, Anwar Usman, mengagendakan sidang pada Senin (20/6) mendatang untuk mendengar keterangan ahli sekaligus keterangan DPR.

Sebelumnya, lewat tim kuasa hukum beberapa waga negara yakni Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK menghapus kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Pemohon menilai pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon yang berstatus sebagai terdakwa/terpidana korupsi. Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi.

Menurut pemohon, pemahaman ini disebabkan implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga pemaknaan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian” tidak harus nyata terjadi. Faktanya tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah ada penetapan tersangka korupsi.

Para pemohon menganggap sejak UU Adminitrasi Pemerintahan  terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens it rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.
Tags:

Berita Terkait