Begini Aturan Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia
Utama

Begini Aturan Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia

Perlu prosedur penetapan pengadilan terlebih dahulu.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai nikah beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait hal ini. Sahnya sebuah perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini mengartikan bahwa UU Perkawinan menyerahkan hukum pernikahan beda agama pada ajaran agama masing-masing.

Menurut Islam, sebagaimana diterangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan beda agama yang dilakukan dalam Islam adalah haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tidak sah secara agama. Lalu, dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama pun dilarang (II Korintus 6:14-18).

Pasangan nikah beda agama perlu mendapatkan ketetapan hukum dari pernikahannya. Putusan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986 menyatakan pasangan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Putusan tersebut menyatakan Kantor Catatan Sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama karena tugas kantor catatan sipil mencatat bukan mengesahkan.

Putusan tersebut dikeluarkan MA lantaran terdapat kasus perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen. MA memperbolehkan keduanya menikah beda agama lantaran kedua pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama, sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.

Oleh karenanya, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.

Agar dapat mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, maka seseorang dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian jika permohonan pencatatan perkawinan dikabulkan oleh Kantor Catatan Sipil maka perkawinan tersebut sah menurut hukum.

Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, pernikahan beda agama termasuk ke dalam jenis pernikahan campuran. Pernikahan campuran diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 No.158 atay GHR. Pasal 1 GHR tersebut, disebutkan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait